KOPI hitam kental sedikit gula. Selalu kunikmati menemani hari-hari setengah gila. Kopi, bagiku bukan tameng penghalau kantuk. Melainkan, sahabat sejati di kala imaji kian terkutuk. Pahitnya menguatkan luka, manisnya meredupkan lara.
Setelah lima tahun berlalu, aroma kopi bebal kuhidu, dan
laguku masih pilu. Opini setengah gila meragu. Secangkir kopi di tangan,
bertanya aku pada malam yang kian kelam. Benarkah hanya dengan kopi ini imaji
terkutuk menemu tuahnya? Bukankah kecamuk rasa pada akhirnya menjadi ampas. Pahit
dan manis lenyap tak berbekas. Menumpuk tanpa curahan mata air kesejukan
nurani. Jika pun hilang ketika cangkir dicuci, besok si ampas kembali lagi.
Bahkan mungkin dengan volume yang lekat hampa tak berarti.
Kopiku bukan candu, bukan pula kafein empedu. Hatikulah yang
membuat langkahku membenalu, menggurita di ranah rancu. Dia tetaplah salah satu
sahabat paling rindu. Sejak cercah pelita tersibak di sudut laku, kusemai
benih-benih syahdu di ranah imaji yang biru. Opiniku kembali menyiar, melenyapkan jelaga, menjemput suarga tanpa
bisu.
Kopi hitam kental sedikit gula: imaji terkutuk menemu
tuahnya. Semoga....
Bjm, 2013
Poetic, with cool dictions, tipically Linggis. I like it! :)
BalasHapushttp://johansyahtanjung.blogspot.com/
Hadeeehh.... Berasa dalam kulkas nih. :D
HapusThanks atas apresiasinya, bang Joe Cangkul. :p
"Pahitnya menguatkan luka, manisnya meredupkan lara."
BalasHapusSuka dengan pilihan katanya. Menggelitik....
Salam.
Terima kasih sudah mampir.
HapusSalam. :)