Tak
ada lukisan dan foto keluarga di kamar ini. Kalender? Oow! Barang yang sangat
langka. Aku bukan pengingat yang baik. Lho?! Bukannya malah perlu kalender? Aku
benci tanggal-tanggal yang berjejer rapi, bahkan penuh lingkaran. Ya, aku benci
semua yang berhubungan dengan kalender. Winda—anak tunggalku yang setia
menemaniku—pernah mencoba memasang kalender, tapi kubakar hingga sebagian kasur
ikut hangus.
Sebabnya
hanya satu, yakni 25 Januari. Tanggal inilah hari bersejarah yang tak mungkin
terlupa, sekaligus tanggal tumbuhnya embrio kebencian. Tentang air mata
samsara. Tentang sosok ruksa… akh! Gila.
“Sayang,
aku ingin melupa, tapi pikiran terus mencari tuannya,” ucapku pada sunyi yang
kian menggigit.
Lalu,
kubaca sehelai kertas di meja kerja yang entah kapan terakhir dipakai untuk
bekerja.
KAU DAN AKU SATU!
Irfan & Hana
25 Jan ‘04
Kenapa
tulisanku ini masih ada? Bukankah sudah kuhapus. Hei, bukankah sudah kukatakan
aku benci hari demi hari yang bertanggalan!
“Kau
dan aku yang tak lagi satu. Bertanggalan dilibas waktu,” bisikku pada foto
lusuh—lelaki dan wanita sedang menikmati makan siang di sebuah restoran.
“Aku
mencintaimu. Kau sudah tahu, kan? Tapi, kenapa kau tega mengkhianatiku?”
Maaf, aku khilaf. Percayalah, aku tak berniat selingkuh. Aku
mencintaimu. Masih terngiang perkataannya waktu itu.
Aku hanya diam menahan sesak. Aku tidak boleh terlihat lemah.
Kulihat
lagi foto lusuh yang seperti mencemooh kediamanku. Wanita di foto itu—ibu kandungku—telah
tewas di tanganku. Tepat di malam 25 Januari 2004. Saat dia bugil dalam dekapan
suamiku.
Seketika
aku teringat…. “Winda…, ayahmu mana, Nak? Winda! Jawab pertanyaanku!” Aku
berteriak panik. Setelah malam “luka dibalas luka”, suamiku menghilang. Dia tak
pernah kembali, bahkan setelah aku dipenjara bertahun-tahun.
“Ibu, Ayah mati kaubunuh, Bu!” kata Winda
tersedu di ambang pintu kamar.
“Kau
bohong! Aku mencintainya, Nak.”
Sudah kukatakan sebelumnya, aku bukanlah pengingat yang baik. Malam itu... satu atau dua nyawa? Hahaha....
Sudah kukatakan sebelumnya, aku bukanlah pengingat yang baik. Malam itu... satu atau dua nyawa? Hahaha....
Bjm,
250114
"Ditulis dalam
rangka ulang tahun Monday FlashFiction yang pertama"
Waduh,serem amat ya. Iba sama tokoh utama
BalasHapusTerima kasih sudah berkunjung Mbak Dian. ^_^ Maaf, blognya kacau. :D
HapusNice. Diksinya keren :D
BalasHapusMakasih Mbak, udah ikutan :D
Terima kasih banget. Kripik pedes level atas manaaa? :v
Hapusaku suka suspense dan diksinya.
BalasHapustapi agak bingung di bagian endingnya. ibunya menghantui? siapa yang membunuh bapaknya? :(
Semacam gak sadar kalau yg dinantinya juga dibunuhnya di malam 25 Januari itu. :D
HapusPemilihan katanya keren ^^b
BalasHapusTrima kasih, Mbak Evi. Lama bgt sy gak nengok blog yg superacakadul ini. :3 :D
HapusWogh!
BalasHapusTerima ksih udah mmpir, Mbak Rindriane. ;)
Hapus