SITA sejenak teringat wajah sang ibu. Wajah itu selalu
menghantui mimpi-mimpinya selama lima tahun ini. Menurut beberapa temannya, hal
itu karena Sita tidak pernah mengunjungi makam ibunya. Semenjak kematian sang
ibu, Sita tak pernah mengunjunginya. Bahkan, berdoa pun mungkin tak pernah.
Namun, Sita tidak pernah menganggapnya sebagai masalah.
"Sebaiknya kamu tengoklah makam ibumu, Nak. Seorang anak mesti memuliakan ibunya," ucap ayah Sita.
Rumah sudah sepi benar. Hanya terdengar
suara cecak dan jangkrik di samping rumah. Sita terdiam sembari memindah channel
televisi. Selalu saja dia tidak menanggapi jika obrolan berkaitan dengan
ibunya.
"Bagaimana kuliahmu?" tanya
ayahnya lagi. Dia sadar anak satu-satunya ini tidak mungkin meladeni ucapannya
tadi.
"Lancar, Yah."
"Syukurlah."
Ayah Sita masuk ke kamar. Dipandanginya
foto mendiang istrinya di meja kerjanya. "Aku tidak tahu harus bagaimana
lagi bicara dengan Sita. Sikap keras kepalanya persis kamu, Ning. Andai saja.... Ah, aku harus terus terang."
Sita masih duduk di depan televisi.
Matanya menerawang ke langit-langit. Masih dia ingat episode-episode masa
kecilnya.
***
"Kamu ini kerjaannya main
saja!"
Gagang sapu mendarat di
kaki Sita. Sita menangis sesenggukan. Kakinya lebam. Dia tak pernah membantah
kata-kata ibunya. Diam. Ya, hanya diam yang dilakukannya.
"Kamu ini bodoh! Nilaimu rendah
terus! Dasar anak tidak tahu diuntung!"
Ibunya tidak pernah menyebut namanya.
Sita merasa sang ibu adalah sosok asing. Mungkin monster yang dikirim alien.
Sita hobi menggambar. Namun, buku gambarnya penuh gambar monster bertanduk lima
dan bertaring panjang. Begitulah dia menggambarkan sosok sang ibu.
"Aku menyesal mempertahankanmu
hidup!" pekik ibunya.
Aku juga menyesal tidak bisa
membunuhmu, Ibu, bisik hati Sita. Rasa benci dan sakit hati menguasai hati
Sita.
***
"Aku tidak pernah bisa
memaafkanmu, Bu." Air mata Sita mengalir. Air mata penuh kebencian pada
sang ibu. "Aku tidak pernah menyesal telah meracunimu."
Layar televisi masih menyala. Sita tak jua beranjak dari duduknya. Tak ada yang tahu Sita-lah pembunuh ibunya, kecuali
sang ayah—ayah tiri yang baik hati menganggapnya seperti anak kandung
sendiri.
Sita tak menyadari ayahnya duduk di
sampingnya. "Ayah mau bicara, Sita...."
"Ada apa, Yah?" Disapunya air
matanya perlahan.
"Terlalu lama Ayah menyimpan
rahasia ini. Kamu mesti tahu hal sebenarnya." Ayah Sita terdiam.
"Rahasia? Apa yang belum
kuketahui, Yah?" Raut muka Sita mengeras.
"Sebenarnya ibumu sangat
mencintaimu. Hanya saja..."
"Ayah bicara apa? Mencintai?
Mencintai dengan pukulan bertubi-tubi?" Sita berteriak sangat keras.
"Selesaikan Ayah bicara dulu,
Sita!" Kali ini ayahnya menatap mata Sita tajam. "Ibumu meninggal
bukan karena racunmu, tapi karena penyakitnya," lanjutnya.
"Apa???" Sita berdiri dengan
gusar. Telapak tangannya mengepal. Keyakinannya bahwa dendamnya sudah lunas,
kini mulai goyah.
"Duduklah, Nak...." Ayah
menarik tangannya. "Ibumu menderita AIDS. Kamu tidak pernah tahu, bukan?
Dia bersikap kasar hanya untuk menutupi rasa sakitnya darimu. Dia hanya tidak
bisa mengungkapkan rasa sayangnya padamu, Nak."
Diam. Ya, hanya diam mampu dilakukan
Sita sekarang. Entah kebencian ataukah penyesalan yang dia rasakan.
Bjm, 190614
Tidak ada komentar:
Posting Komentar