JEMBATAN roboh. Tangis duka dan jerit kesakitan membelah
langit. Darah menggenangi tanah. Kali berwarna merah.
"Satu pun tidak ada yang
menolong kita,” ucap seorang ibu.
"Kita mesti menemui Pak
Presiden," sahut sang suami. Dipeluknya jasad anak semata wayangnya yang penuh luka dan membeku.
"Mana
mungkin dia peduli. Kita terasing di tanah sendiri."
"Lantas,
bagaimana nasib anak kita dan jasad lainnya??? Mau dikubur di mana?"
Hujan turun deras, merah dan
amis. Air mata mereka menyatu dengan hujan. Air kali meluap hingga ke jalan
raya. Kota dilanda banjir besar. Banjir darah, banjir air mata, banjir merah.
Mayat-mayat mengapung hingga ke halaman istana.
Bjm, 180215
Tidak ada komentar:
Posting Komentar