KAMARKU berada di lantai atas dan sering dijadikan tempat
mengobrol oleh teman-temanku. Seperti biasa, kami menikmati camilan di kamar kosku
bercat warna abu-abu itu.
Yang namanya cewek semua, obrolan pun tentu tak jauh dari hal yang berhubungan
dengan wanita. Entah kenapa topik pembicaraan kali ini adalah kutang alias
bra alias BH. Siapa yang tidak tahu pakaian dalam itu?
“Ran, tahu, nggak, cara
mengetahui ukuran kutang orang?” tanyaku pada Rani.
“Ya..., ditanyain. Masa
ngukur pakai meteran?” jawab Rani.
Teman-teman tertawa sambil khusyuk menikmati kuaci.
“Macam-macam aja, deh,
pertanyaanmu, Ai!” sahut Ifa dengan mulut penuh roti.
“Pertanyaan serius ini. Siapa
tahu nanti suami kalian beliin kutang, tapi nggak tahu ukurannya....”
“Udah, deh, emang gimana cara
ngukurnya?” desak Rani.
“Begini. Lihat caraku, ya!
Tanyain aja ke penjualnya, ‘Mbak, kutang yang seukuran segini, ada
nggak?’,” kataku sambil
mendekatkan kedua telapak tangan ke dada Rani. Hampir dekat... semakin
dekat...
“Ai gila!!!” teriak mereka
berbarengan.
Kulit kuaci pun beterbangan ke
mukaku. Bantal guling tiba-tiba begitu lihai berakrobat. Hadeeeh....
“Hahaha....” Aku lari keluar
kamar dengan terbahak.
Tak lama, HP di saku celanaku
berdering. Sebuah panggilan masuk dari sepupuku paling cantik sehutan
Kalimantan. Sebenarnya,
dia sepupu jauhku. Kata orang Banjar, sih, sepupu tiga kali karena kakek dan
nenek kami sepupuan. Kutinggalkan teman-temanku, lalu duduk di tangga.
Kebetulan Ida juga sedang teleponan dengan... tunangannya mungkin.
“Apa kabar?” sapa sepupuku.
“Alhamdulillah. Lagi di mana?”
tanyaku.
Kami pun asyik mengobrol.
Anehnya, topik obrolan kami adalah kutang! Katanya, di kampung, kutang-kutang
dibiarkan menghiasi jalan.
"Ah, biarin aja. Lumayan
biar kampung aman. Maling jemuran, maling kelaparan, maling apa pun pokoknya,
nggak bakal berani mengganggu warga," kataku.
"Emang, sih, tapi aku
takut," sahutnya.
"Takut
apa? Oh, iya, kamu, kan, takut lihat kutang. Idih! Lama-lama bakal terbiasa dan
kamu pasti menikmatinya. Demi, lho, demi stabilitas ekonomi negara."
"Tetap
aja, takuuut.... Macam-macam pula warnanya."
Obrolan
kami berakhir dengan kesimpulan,
sepupuku tetap takut melihat kutang. Aku cuma geleng-geleng kepala. Tidak
adakah topik yang lebih asyik dan seksi daripada kutang?
Ida yang dari tadi diam
mendengarkan obrolanku tentang kutang, bertanya dengan tampang aneh dan
penasaran.
"Ih, parah! Di kampungmu,
kutang-kutang dijadiin apa tadi? Dipajang di jalanan? Tradisi? Aneh!
Mengerikan!"
Aku tertawa nyaring. "Wi,
kutang itu bahasa kampungku. Bukan bra atau BH, lho! Tapi, anjing!"
"Hah? Jadi, bahasa sana
anjing itu kutang.
Hahaha...."
Bjm, 271014
*Kutang di Kandangan, Kalimatan Selatan, berarti
anjing. Biasanya jadi penjaga kebun. ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar