Ketika ada yang bertanya tentang hakikat puisi, aku terdiam. Diam, tapi mempertanyakan balik ke diriku sendiri. "Apa itu puisi?" Apakah puisi sekadar membuang kebebalan pikiran? Apa sekadar meluapkan kesunyian dan kegalauan? Apa puisi sekadar ungkapan rasa tanpa jiwa? Rasa tanpa jiwa, jelas bukan itu jawabannya.
Ketika ada yang bicara "Puisi itu bahasa rasa tanpa ditunggangi kepentingan apa pun", aku terdiam juga. Sibuk mempertanyakan apakah gerangan hakikat puisi? Kepentingan yang bagaimanakah yang tidak boleh menunggangi puisi? Jika kutulis puisi tentang negara yang karut-marut, apakah puisiku ditunggangi politik? Jika kupuisikan dua bocah pengamen di lampu merah, apakah puisiku ditunggangi LSM? Jika kupuisikan hutan yang terbakar dan asap yang membunuh, apakah puisiku ditunggangi kepentingan sok peduli? Jika kupuisikan tentang maling sendal yang dipukuli massa hingga mampus, apakah puisiku ditunggangi hukum (yang timpang)? Jika kupuisikan para koruptor yang melenggang di panggung negeri, apakah puisiku ditunggangi korupsi?
Ketika ada yang berkata "Puisimu tanpa daya. Tetaplah maling merajalela. Tetaplah hukum makin timpang. Tetaplah koruptor tak dihukum mati. Puisimu tak bisa menangkap mereka yang zalim.", aku kini tak ingin diam. Aku mengerti apa hakikat puisi. Puisi adalah membaca. Ketika kulihat ketidakadilan, aku sedang membaca keadilan mesti diperjuangkan. Ketika kulihat kemiskinan, aku sedang membaca kedua tanganku yang masih kuat untuk berjuang. Ketika kudengar hutan terbakar, hewan-hewan terpanggang, aku sedang membaca hijau dedaunan. Lalu, kutulis puisi sebagai mantra, sebagai senjata, sebagai LAWAN!
Jangan takut memuisikan apa yang kaulihat, yang kaudengar, yang kaupikir, yang kaurasa....
Jogja, 160915
Tidak ada komentar:
Posting Komentar