Fuza,
keponakanku superchubby itu kategori anak kritis dan tak segan-segan
mengekspresikan perasaannya. Apa yang dia lihat, selalu dia komentari. Apa yang
dia rasakan, tak pernah lama dipendamnya. Sikap kritis dan cerdasnya itu
menjadikan Fuza anak yang tidak mempan dibujuk rayu dan diiming-imingi
macam-macam. Namun, Fuza juga anak yang agak ngototan atau keras kepala. Ah,
aku tidak mau menyebutnya begitu, deh. Sebut saja, Fuza itu anak yang teguh
pendirian.
Tahun ini,
Fuza mulai sekolah di madrasah ibtidaiyah. Fuza belum genap enam tahun.
Tapi, dia tidak mau lagi menambah satu tahun di TK. "Bosan. Uza udah bisa
nulis, membaca, berhitung tambahan, kurangan, kalian," kata Fuza. Dia
pernah mengerjakan soal-soal matematika semester satu kelas 1 SD tanpa disuruh.
Soal-soal itu dia kerjakan sendiri dan benar semua. Bahkan, dia meminta buku
semester dua. Dilihat dari kemampuan membaca dan berhitungnya dan setelah
melalui tahap tes psikologi, Fuza memang layak masuk sekolah dasar.
Hal yang tidak
disangka terjadi setelah dua hari Fuza masuk sekolah. Dia malas-malasan sekolah
dan tampak tidak semangat. Aku tertawa geli mendengar cerita kakak, ibu Fuza.
Fuza bosan mengikuti “MOS”. Jadi, di awal masuk sekolah ada semacam MOS berupa
pengarahandari pihak sekolah. Semua siswa baru disuruh duduk di lantai,
mendengarkan pengarahan dari guru. Nah, bagi Fuza, suasana pengarahan itu
sangat tidak menyenangkan. Sepanjang pengarahan, Fuza cuma jongkok, tidak mau
duduk di lantai. Selain tipe pembosan, Fuza itu anak yang sangat peduli
kebersihan. Alasan dia tidak mau duduk adalah: Lantai itu kotor. Alasan kedua,
dia maunya belajar langsung, duduk di bangku sekolah, bukan cuma duduk-duduk “tidak
jelas”. Tipikal pembelajar memang.
Fuza
bersekolah di sekolah tempat ibunya mengajar. Tentunya semua guru mengenal dia
dengan baik. Melihat Fuza jongkok sepanjang pengarahan, guru-guru yang
melihatnya tersenyum geli. “Tuh lihat kuat banget Fuza jongkok, padahal
badannya gemuk,” ucap mereka.
Pengarahan dan pengenalan yang entah tentang apa, berjalan tiga hari. Di hari
ketiga, Fuza tidak mau masuk sekolah. Ibunya sudah waswas saja, takut besoknya
Fuza tidak mau sekolah lagi. Di hari tidak sekolah itu, Fuza ternyata “curhat”
dengan Shafa. Anak kecil pun perlu teman curhat, ya. Ada lagi alasan
ketiga. Shafa bercerita ke ibunya, bahwa Fuza tidak mau sekolah karena
dipanggil “kakak” oleh temannya yang badannya lebih kecil. Fuza hilang semangat
dan merasa tidak senang dipanggil begitu.
Setelah diberi
pengertian dan diyakinkan bahwa besok mulai aktif belajar, Fuza akhirnya mau
sekolah di hari keempat. Sejak sekolah TK, Fuza tergolong anak yang tidak mau
absen masuk sekolah. Beberapa waktu lalu, dia diajak jalan-jalan ke Yogyakarta.
Oalah, dia tidak mau karena tidak mau bolos sekolah. Orang rumah sibuk
membujuknya. Akhirnya, dia mau dengan syarat harus diberi 3 PR oleh gurunya!
Ada-ada saja. :D
Fuza dua tahun lalu sewaktu berkunjung ke Tamban, Kalsel. Duduk di atas jukung yang lama tak terpakai. |
Hey blogwalking ya ke http://satriaelangg.blogspot.co.id
BalasHapus