(sumber ilustrasi: di sini) |
Melihat
sesuatu dari berbagai sudut pandang adalah hal yang harus dilakukan seorang
penyimak berita. Tak terkecuali berbagai kasus yang menghiasi berbagai media. Kita,
sebagai pembaca, hanyalah orang luar yang tidak tahu sebenar bentuk jeroan.
Namun, tidak menutup kemungkinan kita bisa menyimpulkan apa dan bagaimana
permasalahan itu terjadi.
Ingatkah
sosok presiden RI yang memerintah Indonesia selama 32 tahun lamanya? Meskipun
posisi sang presiden jatuh saat terjadinya reformasi Mei 1998, meskipun berbagai
kalangan berkata dialah penyebab utang negara bejibun jumlahnya, Soeharto
tetaplah mantan nomor orang satu di negeri ini. Sebobrok apa pun sikapnya, tak
bisa dimungkiri, Soeharto pernah dipuja, dielu-elukan, bahkan diimpikan rakyat
untuk bisa bersalaman langsung dengannya. Memang, selalu ada sisi hitam, putih,
dan abu-abu dalam hidup seseorang.
Ya,
hitam, putih, dan abu-abu, adalah gambaran hidup seorang pejabat. Semakin
maraknya kasus korupsi, tak serta-merta membuat mata begitu peka menilai ini
hitam, itu putih, atau ini abu-abu. Semua begitu samar. Beberapa politisi yang
awalnya begitu getol berjuang di zaman reformasi, malah ada yang terjebak kasus
korupsi. Beberapa tokoh yang semula adalah seorang aktivis pemberantasan
korupsi, juga tersangkut kasus korupsi. Lantas, bagaimanakah kita sebagai seorang
yang awam politik melihat berbagai kasus?
Saya
seorang penulis puisi yang cukup getol memuisikan kebobrokan pejabat-pejabat
korup. Korupsi tetaplah penyakit yang harus disembuhkan hingga ke akarnya. Selain
itu, korupsi juga haruslah diedukasikan kepada generasi bangsa. Edukasi yang
bagaimana? Edukasi kepada anak-anak didik bahwa korupsi itu berawal dari hal
yang kecil. Terkadang, sesuatu yang semakin berkembang itu berawal dari
kekeliruan sikap yang dianggap wajar. Contoh kecil, menyuap polisi ketika
ditilang. Ini jelas sikap salah yang dianggap wajar oleh sebagian besar
masyarakat.
Sebenarnya
apa sih penyebab orang korupsi? Menumpuk harta? Mencari kepuasan demi kepuasan?
Saya teringat dengan sosok Jero Wacik yang dijadikan tersangka kasus korupsi
beberapa waktu lalu. Jero Wacik, mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (2004-2011)
serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (2011-2014), disangkakan merugikan
negara miliaran rupiah. Pertanyaan saya, kok bisa seorang Jero Wacik korupsi?
Seperti
yang telah banyak diketahui, pada masa jabatannya, Jero Wacik telah berhasil
menoreh banyak prestasi. Selama menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata,
Jero Wacik berhasil menaikkan devisa negara dari 3 miliar dolar Amerika menjadi 6 miliar doalr
Amerika. Jero Wacik juga menghidupkan dunia perfilman Indonesia dengan diadakan
kembali FFI, yang sempat vakum sejak tahun 1992. Dunia perfilman Indonesia pun
semakin maju hingga sekarang. Tidak salah jika mantan Presiden Susilo Bambang
Yudoyono menjadikannya sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata dalam dua
periode.
(sumber ilustrasi: di sini) |
Saat
menjabat sebagai Menteri ESDM, Jero Wacik mampu menaikkan produksi proyek Cepu
naik menjadi 165 ribu barel per hari setara dengan 86 triliun rupiah per tahun.
Penyelesaian pembangkit listrik tahun 2011 hingga 6000 MW dan renegosiasi harga
gas tangguh yang semula 2,7 dolar per metrik ton, menjadi 8 dolar per metrik
ton.
Logika
saya berpikir, jika memang benar seorang Jero Wacik korupsi, kok bisa cuma
mengambil “seupil”? Aih, saya jadi membandingkan dengan kasus-kasus korupsi
lainnya yang merugikan negara triliunan rupiah.
Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral adalah lahan yang basah. Berbagai kasus korupsi
pernah terjadi di kementerian ini. Salah satunya adalah kasus Jacobus Purwono, Direktur
Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, tahun 2007-2008. Jacobus
Purwono dijadikan tersangka atas dugaan korupsi pengadaan sistem listrik tenaga
matahari untuk rumah tangga. Diperkirakan kerugian negara mencapai Rp 119
miliar (baca di sini).
Kasus lain yang fenomenal dan tidak rampung-rampung adalah mafia migas, yang
bernilai ratusan triliun rupiah.
Lagi-lagi,
saya mencoba bermain logika. Istilah yang dipakai KPK kepada Jero Wacik adalah
pemerasan. Ya, Jero Wacik disangkakan melakukan pemerasan dalam penggunaan Dana
Operasional Menteri (DOM) sehingga merugikan negera sebesar 9,9 miliar. Bandingkanlah,
jomplang banget 9,9 miliar dibanding 199 miliar, bahkan ratusan triliun rupiah
itu. Seorang Jero Wacik, pimpinan tertinggi di ESDM, terlibat kasus pemerasan?
Pemerasan yang bagaimanakah? Siapa yang diperas? Bagaimana proses pemerasannya? Mendengar kata “pemerasan”, pemikiran saya sebagai
orang yang awam hukum adalah tindak kriminal yang “tidak elegan” sekali.
Pemerasan
identik dengan pemaksaan kehendak, perampokan, dan intimidasi, menurut saya. Atau,
mungkin ada pemerasan kelas kakap? Ibaratnya, perampok kelas kakap tentu
berbeda dengan level maling sandal. Kecerdasan Jero Wacik tidak perlu diragukan
lagi. Dia lulusan terbaik ITB. Perjuangan hidupnya dari kecil hingga menjadi
orang sukses patut diacungi jempol. Sebelum Jero Wacik
terjun di dunia politik, dia adalah seorang pengusaha yang sangat sukses. Dia pernah
puluhan tahun bekerja di perusahaan industri otomotif, menjabat sebagai Goverment
Sales Manager. Setelah itu, dia berwiraswasta dengan mendirikan dua perusahaan
pariwisata dan satu perusahaan tekstil. (baca di sini). Ketika membaca kasus Jero Wacik ini, terbayanglah bagaimana sosoknya yang berwibawa.
Bukan
berarti saya membenarkan pencurian kelas teri. Sama sekali tidak. Pencuri, ya,
pencuri. Korupsi, ya, korupsi. Koruptor harus dihukum berat. Saya hanya mencoba melihat dari sisi lain. Politik,
hukum, dan korupsi semakin abu-abu. Sulit ditebak siapa otak, siapa pemain,
siapa korban, siapa yang dikorbankan, dan siapa tukang sorak-sorak bergembira. Apa pun keputusan sidang
kasus-kasus korupsi, khususnya kasus Jero Wacik, semoga sudah sesuai dengan
hati nurani dan nilai keadilan. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar