Mak, ketika hujan, aku
terpasung kenangan tak bertuan
Wajahmu, senyummu,
dan langkah kaki jelang Subuh
Duh, adakah yang
lebih gaduh dari rindu yang buncah?
Aroma tanah rantau
tentu tak semistis aroma ketiakmu
Tempat ‘ku berteduh
dari keriuhan jalanan
Tempat ‘ku belajar
detak jantung tanpa kepalsuan
Mak, ketika hujan,
siapakah yang terisak dalam diam?
Gigil memintal doa,
khusyuk memeluk semesta
Sedang rinduku kian
kebasahan
Air mata dan peluh
lelahku begitu hilang rupa
Aku bernyanyi lagu
kepulangan, tapi aku lupa cara berdansa
Jika aku petapa,
doamulah serupa hujan
Mak, ketika hujan,
aku mabuk menghitung kenakalan
Isi kepala penuh
bualan dan dosa
Sementara angin
mengetuk kaca jendela
Ia sampaikan
larik-larik yang kubuang
Dulu kaupungut
diam-diam, kausimpan dalam kotak kayu
“Yang terbuang
jadilah mantra rindu,” ucapmu
Jogja, 190116
Dalem...
BalasHapusMakasih, Uwan. Yuk ikutan! ;)
HapusTerima kasih Mba Edib sudah ikutan giveaway saya :)
BalasHapusSama2, Awan. Sudah kushare di Twitter, ya. ^_^
HapusKerinduan itu membuatnya kian cakap merangkai aksara.
BalasHapusKerinduan ini jgnlah cepat berlalu... #eh, salah lirik, ya. :D
Hapusbagus mba puisinya ...
BalasHapusMakasih. :)
Hapus