Semakin hari, media online
semakin membuat hati miris. Entahlah, saya tidak begitu paham dengan dunia
pers. Apakah boleh judul berita memancing komentar negatif, menimbulkan
interpretasi bermacam-macam? Apakah boleh judul berita tidak sinkron dengan isi
berita? Biarlah sang ahli menjawabnya. Saya hanya fokus ke tipikal pembaca.
Sebagian besar pembaca semakin tidak cerdas. (Hati-hati, Dib, nanti didemo
pembaca). Lah, wong saya juga pembaca berita. :v
Biasanya, saya hanya elus-elus
lutut kalau sudah tak sengaja membaca sebuah berita serta ratusan sampai ribuan
komentar. Semua jadi asyik sendiri, semua jadi merasa benar sendiri, semua jadi
jago menyimpulkan sendiri. Sepertinya metode menelaah dan menyaring berita
sudah tidak dipakai. Fenomena begini apakah media yang disalahkan? Teknologi
yang perlu disalahkan? Tidak, bukan salah media dan teknologi. Otak dan hati
manusianya saja yang perlu di-upgrade.
Teknologi semakin berkembang.
Jika dulu orang berkirim kabar hanya dengan surat via burung merpati, sekarang
merpati cukup bersantai di dahan pohon. Jika dulu menyampaikan rindu ke kekasih
hanya dengan tulisan di dinding kelas atau surat dengan kertas warna-warni
(Uhuk!), sekarang cukup kirim SMS, WA, status Facebook, dan sebagainya. Jika
dulu mendengarkan berita hanya lewat radio yang baterainya kalau dilempar ke
kepala Edib bisa bikin Edib kembali normal, sekarang cukup memantau beranda
Facebook. Begitulah, teknologi semakin maju. Namun, apa otak kita semakin turun
ke dengkul?
Media sosial dengan fitur share
juga salah satu media yang membuat berita menyebar ke seantero dunia. Siapa
pun bisa membaca. Manusia semakin “dibebaskan” berbicara lewat berita. Tak
peduli berita itu valid, sekadar hoax, bahkan berita penuh modus supaya menyebar luas. Lewat status Facebook dan kicauan di Twitter pun orang leluasa
menyampaikan pemikirannya, yang kadang tanpa “dipikirkan” lebih dulu.
Beberapa hari lalu, sebuah
status lewat di beranda Facebook. Seorang teman share status seseorang
berisi foto uang kertas dengan caption: “Uang baru 2016?, biasanya
gambar Pahlawan, kok yg ini kenapa jadi gambar GENDORUWO."
Dua kalimat di atas asli dari
sumbernya, tidak saya edit. Dua ribuan orang menge-like dan dua ribuan
orang menge-share status itu. Terhitung seratusan orang berkomentar di
statusnya. Hanya berdasar foto uang kertas dan dua kalimat itu, banyak
komentator menghubungkan mata uang itu dengan pemerintahan sekarang. Contoh
beberapa komentar: “rezim dajjal”, “gambaran ekonomi setan”, dan sebagainya.
Syukurlah ada komentator yang
jeli. Dia kemukakan kalau foto itu mata uang pada tahun 1975. Mata uang
Indonesia yang sudah langka alias kuno (Lihat di sini). Namun, meski sudah
ada yang berkomentar cerdas seperti itu, tetap saja ada yang “tidak tergugah
untuk menjadi cerdas”. Si pemosting foto itu berhasil memancing reaksi pembaca.
Terlepas apa maksud statusnya, saya tidak pikirin. Tergantung pembacanya saja lagi,
bisa apa tidak menahan diri?
Saya bukan bermaksud membela siapa pun. Saya menuliskan
ini karena sudah tidak tahan menahan sesak di dada (Gubrak!). Wong
waktu pilpres saja saya golput. Keponakan saya meninggal tepat saat pilpres.
Saya buta politik, tapi saya tidak pernah membutakan mata dan menulikan telinga untuk
mengetahui perkembangan politik. Saya tidak pernah membenci politik meski
banyak yang bilang politik itu penuh kepalsuan. Sebagai warga negara, saya
tidak bisa lepas dari dunia politik.
Permasalahan di atas hanya
contoh kasus. Masih banyak kasus lain yang berlalu-lalang di dunia online. Apa, sih, yang harus
kita lakukan ketika membaca tulisan-tulisan yang bertebaran di jagat maya?
Langsung menelan mentah-mentah? Bagaimana
caranya agar kita tidak menjadi pembaca yang asal terima, asal komen, dan asal share?
Pertama, kita harus belajar
menahan diri. Sepasang kekasih saja kalau tidak pandai menahan diri bakal tak
bertahan hubungan mereka. Sebentar-sebentar cemburu, sebentar-sebentar curiga,
marah, dan sejenisnya. (Tahu apa kamu soal hubungan kekasih, Dib? Pletak!).
Menahan diri di sini termasuk “menahan jempol”. Yup, jangan buru-buru
berkomentar dan share berita.
Kedua, sebagai pembaca kita
harus punya daya saring. Gunakanlah internet buat cari informasi dari berbagai
sudut pandang. Masa internet cuma dipakai buat game atau cari jodoh? (Huuusss!).
Jangan lupa, berdiskusilah secara sehat.
Ketiga, bersikap netral untuk
hal yang kita tidak tahu pasti kebenarannya. Apalagi di dunia politik, kebenaran
itu ibarat bau kentut di kerumunan orang. Bau, tapi sulit ditebak siapa yang
kentut, kecuali ada yang mengakuinya.
Keempat, merenung dan dengarkan
hati nurani. Benarkah kita bertindak sesuai hati nurani atau sekadar menuruti
hawa nafsu? Jangan pakai emosi ketika membaca sebuah tulisan atau berita. Yang
paling riskan tulisan dan berita yang menyangkut SARA. “Belum tentu tindakan
yang kita anggap benar itu tepat.” Pola pikir instan membuat orang bertindak
instan pula.
Kelima, sering-sering mengajak
saya piknik atau travelling, ya. Hohoho.
Tidak ada manusia yang luput
dari kesalahan. Namun, saya terus berusaha mengurangi kesalahan dengan cara
menjadi pembaca yang cerdas menelaah berita walau beritanya sekadar
embusan angin.
Jogja, 120116
Poin terakhir harusnya dihapus. Hahaha
BalasHapusdia ogah dihapus... #modus :p
HapusBetul... makanya kadang saya lbh suka jd silent reader
BalasHapusSama, Mas Cahyanto. Jadi silent reader aja. :D
HapusSetuju. Makanya sbg pelaku media sosial kita pubya tugas yg gak ringan.
BalasHapusBetul bgt, Bundcha. Gak cuma mikir enak n bebasnya aja, tapi mikirin efek yg kita lakuin meski sekadar like berita hoax. :)
Hapusuhm... poin kelima itu agak gmana ya...
BalasHapusganggu kayanya :P
Poin kelima itu modus, Mbak Neng. Wkwk. :D
HapusSuka analogi buang anginnya :D :D
BalasHapusHaha... Kau emang suka berangin2, Kak Nyit2.
HapusSegala hal bisa menjadi kasus besar atau hilang sama sekali. Tergantung sampai ke tangan siapa berita itu.
BalasHapusYup, sepakaaat, Wid! (y) :)
HapusSegala hal bisa menjadi kasus besar atau hilang sama sekali. Tergantung sampai ke tangan siapa berita itu.
BalasHapusHai,. Mbk Edib. xixixi.. ini baru tahu alamat blogmu mbak (Hiksz)
BalasHapusah, benar sekali,.. sebelum share dan koment berita perlu ditelusuri valid dan tidaknya.
.... :D
nanti point kelima, travelling bareng ya. hehe
Hai, Hidayah. #peluk
HapusAyo, travelling bareng. Ditungguuu...
Ayo,.. eh mBak Edib di Jogja kan ya? Wah saya ke jogja satu kali mbak. dan jatuh cinta sma toko bunya. Banyak refren dan murah meriah,..
Hapushaduuhh.. pngen ksana lagi. Kuliner Buku. hikssss..