Kasus Jero Wacik (JW) kembali menarik
minat saya untuk menuliskannya, terutama setelah Jusuf Kalla (JK) bersedia
hadir menjadi saksi dalam persidangan JW. Sangat mengherankan, seorang JK mau
menjadi saksi di persidangan itu. Siapakah JW? Mengapa JK berkenan jadi saksi,
sementara banyak menteri di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang
juga terjerat kasus korupsi? Bahkan, seorang SBY, mantan RI 1, menuliskan
sebuah surat panjang berisi prestasi-prestasi Jero Wacik.
Jero Wacik adalah seorang tokoh kelahiran
Bali. Sebelum memutuskan berkecimpung di dunia politik, dia seorang pengusaha
yang sangat sukses. Dunia pariwisata adalah bidang yang digelutinya.
Sebelumnya, dia juga lama bekerja di sebuah perusahaan industri otomotif. Keberhasilannya di
dunia usaha membuatnya menjadi orang yang mapan secara materi. JW membuktikan bahwa
seorang yatim piatu, seorang dari keluarga sangat sederhana (bahkan bisa
dibilang dari keluarga miskin), bisa juga sukses dengan prestasi yang patut
diacungi jempol.
Suasana persidangan tanggal 14 Januari 2015 (sumber foto: Elisa Koraag) |
Tidak heran ketika dia diangkat
sebagai Menteri Pariwisata oleh SBY tahun 2004, harta yang dia laporkan ke BPK
cukup banyak sebab hasil bisnis. Tahun 2004, harta JW yang terdata di BPK Rp 15,5 miliar. Tahun 2009
terdata sekitar Rp 12,3 miliar. Tahun 2012 Rp 11,6 miliar dan USD 430.000.
Jadi,
sebelum diangkat sebagai menteri, harta JW sudah sangat banyak. Dari
angka-angka di atas, dari tahun ke tahun, adakah yang bisa menyimpulkan JW mengumpulkan
kekayaan selama sepuluh tahun menjadi menteri? Banyak orang yang menyimpulkan
hanya dari angka terakhir yang terdata di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN). Mereka tidak melihat berapa harta Jero Wacik dari hasil
usahanya sebelum terjun ke dunia politik.
Abraham Samad, Ketua KPK yang
“mengangkat” kasus JW pun dengan blak-blakan menuduh JW hidup berfoya-foya
selama menjabat sebagai menteri. Pertanyaannya, apa Abraham mengenal dekat
siapa Jero Wacik sehingga bisa menyimpulkan JW sosok yang berfoya-foya? Apakah
wajar semua tuduhan itu, padahal faktanya harta JW tidak bertambah banyak
setelah sepuluh tahun menjadi menteri?
Analogi sederhananya begini. Si A
berkata si B suka mengintip orang mandi. Lalu, si C yang tidak mengenal dekat
pun ikut-ikutan berkata si B tukang ngintip, si D juga berkata begitu, dan
seterusnya. Apa bukti si C sehingga bisa menyimpulkan si B tukang ngintip? Apa
dan siapa yang berperan penting di sini? Telinga dan mulut, itu jelas. Media
tentu berperan penting menggiring opini publik.
Saya tidak menampik hebatnya sosok
Abraham Samad dalam menjerat berbagai kasus korupsi di Indonesia. Sayangnya,
untuk kasus JW perihal DOM di Kementerian Pariwisata dan anggaran dana di
Kementerian ESDM, saya pikir KPK “kecolongan”.
Untuk kasus penyalahgunaan DOM, perlu
pemeriksaan lebih jauh sebelum tuduhan itu dilayangkan. “DOM itu memang untuk
membantu menteri dalam menggunakan anggaran pada kegiatan yang tidak resmi,
tapi itu seperti representasi. Seolah-olah pribadi, tapi itu tidak bisa
dipisahkan antara urusan menteri dengan urusan pribadi,” kata Jusuf Kalla saat
memberikan keterangan sebagai saksi untuk terdakwa Jero Wacik, di Pengadilan
Tipikor Jakarta, Kamis (14/1/2016).
JK juga menambahkan, setiap menteri
diberi keleluasaan dalam penggunaan DOM. Sebagai Menbudpar sangat wajar JW
perlu DOM untuk mendukung aktivitasnya. Tugas JW tidaklah mudah. Dia harus
mengembalikan citra pariwisata Indonesia setelah musibah yang berturut-turut
menghantam Indonesia, seperti kasus bom Bali, gempa Jogja, serta tsunami Aceh.
Jika yang dipermasalahkan “Kok menteri
sering jalan-jalan ke luar negeri?”, lah begitulah tugas Menbudpar. Mencari
jaringan, menanamkan kepercayaan ke pihak luar negeri bahwa Indonesia aman dan
nyaman dikunjungi. Mengajak relasi makan di sebuah resto, misalkan, itu adalah
hal yang wajar dalam penggunaan DOM. Gaji seorang menteri tidak akan cukup
untuk mendukung tugasnya yang tanpa kenal waktu. Penggunaan DOM sebelumnya diatur di dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 3 Tahun 2006 (lihat di sini).
Sekarang, peraturan tersebut telah diganti dengan PMK Nomor 268 Tahun 2014
(lihat di sini).
Penggunaan DOM dilaksanakan secara
fleksibel dengan memperhatikan asas kepatutan dan kewajaran. Pihak Jaksa
Penuntut Umum meminta kuitansi penggunaan DOM dari pihak ketiga. Jelas
permintaan itu tidak sesuai dengan ketentuan seperti yang tercantum dalam PMK
Nomor 268 Tahun 2014, Pasal 3 ayat (2). Dana sebesar 80% diberikan secara lumsum
(dibayar sekaligus tanpa perlu rincian kuitansi) kepada Menteri. Sisa dana yang
20% untuk dukungan operasional lainnya. Kata
Jusuf Kalla, di setiap kementerian, berbeda aturan penggunaan DOM. Misal,
seorang Menteri Hukum dan HAM tentu tidak wajar jika mengajak relasi makan di
resto.
Dalam penggunaan DOM, selama
bertahun-tahun Jero Wacik tidak terlalu memikirkannya. Dia hanya penerima dana.
Setiap diaudit oleh BPK pun penggunaan DOM selalu lolos diaudit. Pertanyaannya,
mengapa DOM dipermasalahkan setelah JW bertahun-tahun tidak menjabat sebagai
Menbudpar?
Kehadiran Jusuf Kalla sebagai saksi
dalam persidangan Jero Wacik bukan sekadar meringankan status hukum Jero Wacik,
melainkan menjadi angin segar bagi kasus-kasus menteri lainnya yang berkaitan
dengan DOM. Jusuf Kalla mengharapkan hakim dapat berindak adil dan bijak dalam
menangani kasus ini.
Dalam kesaksiannya, Jusuf Kalla mengungkapkan
perihal tuduhan kepada Jero Wacik. Selama ini JW dituduh menerima dana
gratifikasi senilai 340 juta untuk perayaan ultah di Hotel Darmawangsa. JK
mengungkapkan, acara di Hotel Darmawangsa bukanlah perayaan ultah semata,
melainkan peluncuran buku Jero Wacik di Mata 100 Tokoh. Saat itu JK
hadir sebagai salah satu penulis buku dan memberikan pidato. Bahkan, SBY juga
hadir memberikan sambutan.
Ada lagi tuduhan KPK yang sangat tidak
berdasar. JW dituduh memberikan uang sebesar 3 miliar ke Don Kardono, Pemred
Indopos, untuk pencitraan sosok JW. Disebutkan, JW pernah memberi arahan secara
pribadi ke Don Kardono. Padahal, menurut kesaksian Don Kardono sendiri, ia tidak
pernah bertemu JW secara langsung. Don Kardono memang pernah berada dalam satu forum dengan Jero Wacik, tapi dalam
forum pertemuan JW bersama dengan pemred media massa lainnya.
Kalau soal “pencitraan” Kemenbudpar,
memang betul. Sekali lagi, itu bukan pencitraan secara personal Jero Wacik.
Pencitraan di sini maksudnya keterbukaan informasi kepada publik tentang kegiatan
kementerian. Semua itu ada dananya, tidak hanya Kemebudpar, tapi juga semua
kementerian atau lembaga pemerintahan. Don Kardono dalam kesaksiannya di
persidangan menyampaikan, kesepakatan Indo Pos dan Kemenbudpar dilakukan oleh
Sekjen Kemenbudpar, Waryono Karno, bukan Jero Wacik. Awalnya, kesepatan “pencitraan”
selama setahun dengan bayaran Rp 3 miliar. Tapi, setelah tiga bulan, perjanjian
terputus, jadi pihak Indopos cuma menerima Rp 2 miliar.
Kasus lainnya perihal dugaan
penyimpangan anggaran dana di kementerian ESDM. Pada 16 Juli 2014, KPK
memanggil Jero Wacik atas tuduhan penyimpangan anggaran dana di Kementerian
ESDM pada tahun 2010. Lagi-lagi ini sesuatu yang “aneh”. Bukankah Jero Wacik
baru menjadi Menteri ESDM pada Oktober 2011? Mengapa penyimpangan anggaran dana
tahun 2010 dia yang harus menanggung? Bantahan Jero Wacik pun dianggap angin
lalu. Kasusnya terus bergulir, beberapa media massa terus menggiring opini publik
bahwa “JW seorang koruptor”.
Jero Wacik mencanangkan kembali Indonesia
Visit Year pada tahun 2008 setelah 17 tahun tidak diberlakukan. Program ini
meningkatkan devisa negara yang semula cuma rata-rata USD 3 miliar/tahun
menjadi USD 6 miliar/tahun atau Rp 84 triliun pada tahun 2009.
Selain itu, JW menghidupkan kembali
Festival Film Indonesia (FFI) pada tahun 2004 setelah mati suri selama 12
tahun. Industri perfilman nasional pun berkembang pesat. Pendidikan kepariwisataan
pun turut berkembang seiring semakin majunya pariwisata Indonesia. Pada tahun
2009, Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung dan STP Bali diakui oleh United
Nations World Tourism Organization (UN-WTO) sebagai lembaga pendidikan tinggi
di bidang kepariwisataan yang berkelas dunia. Indonesia menjadi negara pertama
di ASEAN yang mendapat sertifikat UN-WTO. Masih banyak lagi prestasi JW saat
menjabat sebagai Menbudpar.
Sebagai Menteri ESDM, JW berhasil merenegosiasi
harga kontrak LNG Tangguh dengan pihak CNOOC Fujian sehingga bisa mengubah
harga yang semula USD 2,7/mmbtu menjadi USD 8/mmbtu. Renegosiasi ini berhasil
menambah penerimaan negara sekitar Rp 214 triliun. Keberhasilan lainnya, antara
lain pertumbuhan ekonomi lewat pembangunan pembangkit listrik dalam kurun waktu
2011-2014 sebesar Rp 576 triliun, membangun kembali proyek Migas Exxon Mobil Cepu
yang sempat mati suri, dan lain-lain.
Mengapa JK bersedia hadir menjadi
saksi JW? Mengapa SBY memberikan pembelaan melalui surat panjang berisi
prestasi-prestasi yang sebagiannya saya tulis di atas? Semua itu tidak lain
karena prestasi gemilang JW selama menjabat sebagai Menbudpar dalam dua periode
(2004-2011) dan Menteri ESDM (2011-2014).
Sedikit bukan berarti tidak ada. Tetap masih ada orang yang akan berkata benar. Pandawa mewakili kebaikan cuma 5 lawan 100 kurawa. Dan yg 5 tetap bernuang. Kebenaran akan tetap digaungkan walau oleh sedikit orang karena kebenaran gak akan pwrnah mati. Karena akan selalu adayg menyuarakannya.
BalasHapusBetul sekali. Kasihan yg tidak korupsi malah kena getah koruptor yg asli.
HapusPenting banget dong kesaksian Jusuf Kalla...
BalasHapusJawaban Anda benar, Bang Tigor. :D
HapusPenting tidak penting adalah sebuah kepentingan tersendiri bagi Jero Wacik. Apalagi kesaksian JK dapat menjadi pertimbangan pengadilan dalam memutuskan perkara.
BalasHapusBetul, mbak lita. Smoga hakim bisa brsikap bijak, bisa mmpertimbangkan brdasarkan fakta2 di persidangan.
Hapus