Banyak kenangan masa kecil yang tak
akan terlupakan. Satu novel mungkin bakal tidak cukup menceritakannya. Ditulis saja belum. Sudah bilang tidak cukup. Haseeem!
Aku anak ke-6 dari delapan bersaudara.
Empat cowok, empat cewek. Anak tertua cewek, lalu empat cowok, tiga terakhir
cewek. Para cowok diapit cewek-cewek cantik. Begitulah. Yang termanis cuma aku.
#dilemparbakwan. Karena kakak cewek satu-satunya anak sulung dan sudah bekerja
(jarang di rumah), jadi akulah yang kena bagian “momong” dua adik cewek.
Selisih usiaku dengan adik tiga tahun dan lima tahun.
Dua adikku masuk sekolah TK saat aku
kelas 3 SD. Sebenarnya, si bungsu itu belum layak masuk TK karena usianya masih
tiga tahun. Tapi, dia menangis jerit-jeritan (sampai gede kebiasaan ngambek dan
ngamuknya tidak hilang) mau ikut sekolah TK juga. Alhasil, dua adik masuk TK
sekaligus. Tapi, adik bungsuku cuma “anak bawang”, tidak dianggap siswa resmi.
Kasihan kasihan kasihaaan! :v
Saat itu, aku masuk sekolah siang
karena keterbatasan ruang kelas. Setiap pagi, aku kebagian tugas mengantar dan
menjemput dua adikku sekolah TK. Jarak rumah ke sekolah TK dekat untuk ukuran
zaman dulu (tahun 90-an). Jadi cuma jalan kaki. Kalau zaman sekarang, aih, ke
depan gang saja pasti malas jalan kaki. Hayo, ngakuuu! :D
Awalnya, aku malas sekali kebagian
tugas antar-jemput, bahkan menunggui dua krucil yang sekarang sudah dewasa itu.
Lah, mending aku main sama teman, manjatin pohon ketapi (kecapi), main di atas
kelotok (perahu mesin), mencari haliling (tutut kalau bahasa Sunda-nya mah) di
sawah, main rumah-rumahan beratap daun rumbia, atau main sepeda di Kampung
Limau bareng teman-teman.
Oh, ya, aku sekolah langsung masuk
sekolah dasar, tanpa TK. Bayangkan, di rumah tidak ada TV dan media informasi
yang memadai, bagaimana aku bisa mengenal lagu anak-anak? Ada, sih, beberapa
lagu yang aku hafal yang diajarkan oleh guru kelas 1. Namun, tentu tak sebanyak
lagu yang dihafal anak-anak yang sudah menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak.
Hiks. :’(
Ternyata ada hikmahnya mengantar,
menunggui, dan menjemput mereka sekolah TK. Aku jadi hafal lagu-lagu anak-anak
dan lagu nasional! Bagaimana tidak hafal, wong setiap pelajaran dimulai, aku
duduk di depan kelas, menyimak aktivitas para siswa TK dan guru. Bahkan, kalau
disuruh tanding soal lirik lagu, kedua adikku dijamin jempol ke bawah. :p Bahkan, aku main segala macam permainan di TK. Tidak apa-apalah telat menikmati masa TK asal tidak sama sekali. :D
Usia kelas 3 SD diberi “tugas” menjaga
adik membuatku merasa dewasa sebelum waktunya, lho. Merasa saja, sih, padahal
aslinya pecicilan sampai sekarang. :D Yang lebih tahu perkembangan kedua adikku
mah aku. Mamak sesekali saja mengantar ke sekolah. Maklum, dulu Mamak dan Abah “sibuk”
mencari uang demi pendidikan delapan anaknya.
Love you, Mamak.
Tak pernah ikut lomba mewarnai karena tidak pernah sekolah TK, jadinya sok eksis pas lomba mewarnai di Salatiga. Alamak! |
Ada satu pengalaman yang tidak akan
terlupakan selama sibuk mengantar adik-adikku ke sekolah. Pulang dan berangkat
ke sekolah, kami selalu melewati satu gang (namanya Gang Haji Hasan). Di depan
gang itu ada satu rumah dengan halaman luas. Di halamannya, ada satu kandang
yang juga luas. Itu kandang angsa yang katanya cantik memesona. Angsa-angsa itu
dibiarkan berkeliaran. Jadi, fungsi kandang itu cuma buat tidur dan makan angsa-angsa.
Setelah mengantar adik ke sekolah, aku
pulang sebentar ke rumah karena ada barang yang tertinggal. Melewati
angsa-angsa yang berkeliaran aku mah santai kayak di pantai. Tidak ada rasa
takut. Lah, kok tiba-tiba ada dua angsa yang mengejarku. Awalnya aku tidak
sadar. Tapi, aku mendengar suara angsa semakin mendekat dan “bernada marah”
dari arah belakangku.
Aku lari tunggang-langgang, ngos-ngosan
sampai menyeberangi jembatan. Untungnya si angsa sudah berbalik arah, tidak
sampai menyeberangi jembatan. Pret, deh, si angsa! Padahal, aku tidak memakai
baju merah saat itu. Kan katanya kalau kita pakai baju warna merah bakal dikejar
angsa. Apa karena mereka sedang kawin saat melihatku lewat? Mereka merasa
terganggu? Ah, entahlah. Ngomongin kawin rasanya gimana gitu. Bikin sensitif
para jomblo. Ahiks! Sejak itu, aku trauma kalau lihat angsa. Mending dikejar
kamu, deh, daripada dikejar angsa. Saya Lathifah Edib, salam. #gayakomik. :p #gagallucu. -_-
Jogja,
310316
Saya kini paham kenapa kamu jomblo. Trauma lihat angsa kawin? #gagalfokus
BalasHapusSaya kini paham kenapa kamu jomblo. Trauma lihat angsa kawin? #gagalfokus
BalasHapusGubrak! Bundcha terlalu berimajinasiii. 🙇 😫
Hapusuntung ga di patok mba hahaha kalo dulu dikejar ayam jago, ayam jagonya ga berenti ngejar alhasil ni leher kena patokan dasyatnya hahaha
BalasHapussalam kenal mba^^
Gak kebayang kalo sampe dipatok. 😠salam kenal juga, mbak herva. 😄
HapusKelas 3 SD aku masih asyik main kayaknya ... tapi sdh nyapu rumah tiap hari tanpa disuruh kayaknya...#ih gitu aja bangga
BalasHapusHehe, kalo bersih2 rumah kayaknya saya pemalas, mbak. Kayaknya, ya, bisa jadi rajin. Wkwkwk
HapusOooo sebenernya ini kode keras buat segera dipinang ya.. sampek muter muter ke kisah masa kecil mbak edibbb., wkwkwk
BalasHapusBerabe ini, uwan. To the point bgt. #bekepuwan! 🙅
HapusBwahahahaha.. Aku jg pnh mba.. Dan bener itu bkin trauma mpe skrg.. Sy takut sm angsa. Anehnya meski naik motor dan ga pke baju merah ttp aja sy di kejar angsa. Meski bs ngebutin motor ttp aja ngos2an ketakutan..angsa oh angsa.. Hobi bener ngejar org
BalasHapus