Tanggal 9 Februari 2016, vonis
terhadap Jero Wacik dibacakan oleh hakim. Pada sidang sebelumnya, jaksa
penuntut umum dari KPK menuntut hukuman selama sembilan tahun. Namun, majelis hakim memutuskan
hukuman empat tahun. Hakim juga memutuskan membuka kembali rekening Jero Wacik, istri, dan anaknya yang telah diblokir KPK. Hakim juga memerintahkan KPK mengembalikan properti milik Jero Wacik. Semua harta itu terbukti dimiliki Jero Wacik sejak sebelum menjabat sebagai menteri (sebelum tahun 2004).
Sumber: kompas.com |
Menyimak kasus Jero Wacik, membuat
saya belajar arti sebuah kepemimpinan, tanggung jawab, dan konsekuensi. Banyak
pemberitaan yang menyebutkan vonis empat tahun, denda 150 juta rupiah, dan
mengganti uang negara sebesar 5,07 miliar rupiah, adalah karena Jero Wacil
benar-benar korupsi. Benarkah demikian? Yang jadi pertanyaan juga, apakah pemberitaan itu benar-benar objektif berdasarkan hasil mengikuti jalan persidangan?
Ternyata, vonis hakim itu hanya
sebagai konsekuensi seorang menteri yang lalai mengontrol bawahannya. Hakim
menganggap Jero Wacik sebagai pengguna anggaran lalai mengawasi bawahannya
dalam penggunaan Dana Operasional Menteri (DOM). Tuduhan pemerasan jelas tidak
terbukti meski jaksa penuntut umum tetap ngotot dengan berbagai tuduhan.
Tuntutan hukuman sembilan tahun pun mereka layangkan tanpa melihat bukti-bukti dan
saksi-saksi dalam persidangan.
Tidak bersalah mutlak, kenapa divonis
empat tahun? Kalau saya jadi Jero Wacik, mungkin akan banding. Tapi, mengingat
Jero Wacik adalah seorang pimpinan, jelas dia harus menerima konsekuensi
hukuman. Apakah Jero Wacik menolak hukuman itu?
“Pelajaran buat saya, menteri lain
juga, agar mengontrol anak buah dengan baik,” ucap Jero Wacik.
Jero Wacik menerima hukuman itu.
Hingga detik ini, tidak ada niat banding dari Jero Wacik untuk sekadar meringankan
hukuman. Sebaliknya, pihak jaksa penuntut umum berniat banding dan mempertahankan
hukuman sembilan tahun untuk Jero Wacik.
Seperti diketahui bersama, Jero Wacik
didakwa melakukan pemerasan kepada anak buahnya, dituduh menggunakan DOM untuk
keperluan pribadi dan keluarga, hingga tuduhan menggunakan uang negara untuk pencitraan
pribadi. Di dalam persidangan tuduhan itu tidak terbukti. “Pencitraan” yang
dimaksud bukan pencitraan pribadi, melainkan “pencitraan” lembaga Kemenbudpar (bisa dibaca di sini).
Dengan banyaknya saksi dan bukti, tuduhan-tuduhan itu gugur dengan sendirinya.
Di dalam proses persidangan
sebelumnya, jaksa penuntut umum meminta bukti-bukti kuitansi penggunaan DOM.
Padahal, menurut Jusuf Kalla, saksi yang dihadirkan Jero Wacik dan
pengacaranya, menteri, dalam hal ini Jero Wacik, hanya menerima DOM secara
lumsum, artinya diberikan sekaligus dan tidak perlu perincian sedetail sekian
juta untuk tiket pesawat, misal. Belum lagi tuduhan pencitraan pribadi Jero
Wacik. Tuduhan itu pun gugur setelah pihak Indopos hadir sebagai saksi.
Dalam pembacaan tuntutan 9 tahun,
jaksa penuntut umum seperti tutup mata dan telinga dengan saksi-saksi dan
bukti-bukti di persidangan. Lah, apa gunanya persidangan kalau mereka
mengabaikan saksi-saksi dan bukti-bukti?
Menurut ajaran agama yang saya anut,
seorang kepala rumah tangga (suami) adalah imam dan penanggung jawab
keluarganya di dunia dan akhirat. Jadi, suami berperan penting dalam membimbing
istri dan anak-anaknya, mengarahkan keluarga menjadi manusia yang beriman dan
tidak melenceng ajaran Tuhan, serta mempertanggungjawabkan kepemimpinannya
kepada Tuhan.
Begitu pun ketika Jero Wacik
dihadapkan pada masalah tuduhan korupsi ini. Sebagai mantan menteri yang pernah
menjabat selama sepuluh tahun, apa pun yang terjadi kemudian, dia tidak bisa
lepas tangan begitu saja. Bagaimana pun, Jero Wacik masih punya tanggung jawab
sebagai pemimpin. Kasus ini sendiri bermula dari kasus korupsi Sekjen Kementerian ESDM,
Waryono Karno, yang kemudian menyeret nama Jero Wacik untuk ditahan dan
disidangkan sebagai tersangka.
Andai Jero Wacik tidak merasa
bertanggung jawab dengan ulah anak buahnya, bisa saja Jero Wacik terus
menghindar dari proses hukum. Lah, wong tidak merasa bersalah kok mau-maunya menjalani
persidangan yang otomatis mencoreng nama baiknya dan mengurasi energi dan
mental. Bahkan, ketika divonis empat tahun penjara, Jero Wacik merasa bahagia. Dia
bahagia karena hakim mempertimbangkan saksi dan bukti di persidangan. Menurutnya,
dia memang bersalah karena menganggap enteng DOM atau tidak mengerti masalah
administrasi dana. Orang sesibuk Jero Wacik semasa jadi menteri, tentu tidak
pernah ngeh mengurus administrasi, yang tentunya banyak staf kementerian yang
mengurusnya. Anehnya, menurut saya, DOM dipermasalahkan setelah Jero Wacik
tidak menjabat menteri lagi, yang dulu masalah penggunaan DOM ini bahkan lolos
audit BPK.
Kita lihat bagaimana kasus ini
berlanjut. Jaksa penuntut umum akan melakukan banding dan tetap menuntut sembilan tahun
untuk Jero Wacik. Bagaimana pun akhirnya, semoga keputusan majelis hakim
benar-benar adil untuk semua pihak. Amin.
Jogja,
030316
Referensi:
https://news.detik.com/berita/3137837/hakim-perintahkan-sebagian-aset-rekening-dan-properti-jero-wacik-dibuka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar