Berbicara masalah lingkungan, tentu
yang paling dasar adalah sampah. Ya, Sampah. (Bukan cuma mantan, lho, yang
dianggap sampah. :D ). Sampah memang menjadi salah satu sebab berbagai masalah
lingkungan. Salah satunya adalah banjir. Bahkan, banjir kecil seperti selokan
yang meluap saja disebabkan oleh sampah. Beberapa kali aku melewati banjir di
selokan di ruas Jalan Wonosari, Yogyakarta. Oow! Ternyata banyak sampah yang
menyumbat selokan. Ini sedikit menggangguku sebagai pejalan kaki.
Tempat sampah di salah satu sekolah di Banyuwangi. |
Berbagai kampanye tentang sampah
rupanya tak jua membuat orang sadar membuang sampah pada tempatnya. Bagaimana,
sih, supaya masyarakat sadar lingkungan sehat dan bersih? Membudayakan hidup
bersih memang tak cukup sedikit waktu. Perlu waktu yang panjang seperti halnya
melupakan mantan (Jiaaah, mantan lagi). Maksudnya, perlu namanya pembiasaan
sejak kecil. Lho, bagaimana dengan mereka yang dari kecil tidak terbiasa
menjaga lingkungan, tidak terbiasa membuang sampah pada tempatnya? Gampang,
anggaplah diri sendiri masih kecil, lalu mulailah membuang sampah pada
tempatnya. Sangat gampang, kan? ;)
Contoh sederhana, biasakan anak
mengantongi sampah sekecil bungkus permen pun jika tidak menemukan tempat
sampah di sekitarnya. Bungkus permen memang sampah kecil, tapi bayangkan jika
seratus orang membuang sampah bungkus permen. Menjadikan diri sendiri kantong
sampah berjalan itu penting. Tidak hanya mengandalkan fasilitas umum. Tidak
adanya fasilitas tong sampah di sekitar kita bukanlah alasan untuk membuang
sampah sembarangan.
“Salah sendiri nggak disediain tong
sampah,” ucap seseorang. Inilah yang kadang menjadi dilema. Benar, fasilitas
itu perlu. Tapi, kesadaran itu yang lebih penting. Wong kadang banyak
disediakan fasilitas, kok, tapi masih saja banyak sampah bertebaran di
mana-mana. Mau bukti? Lihat saja tempat-tempat wisata. Sangat jarang tempat
wisata yang benar-benar sepi dari sampah. Andaikan minim sampah, itu bukan
karena kesadaran diri sendiri semua orang, melainkan petugas sampahnya yang
hilir mudik sapu sana, sapu sini.
Beberapa bulan lalu, aku dan seorang
sahabat jalan-jalan di Taman Bungkul, Surabaya. Hapir dua tahun tidak
mengunjungi Surabaya, membuatku takjub dan kagum. Surabaya sekarang terlihat
bersih, tertata, dan adem. Di ruas-ruas jalan yang dulu tidak tampak pepohonan
atau taman kecil, sekarang sudah banyak taman di setiap sudut kota. Taman
Bungkul yang dulu saja aku enggan meliriknya karena terkenal kotor, sekarang
sudah sangat apik dan bersih. Tampak beberapa petugas selalu membersihkan
daun-daun yang berguguran dan sampah yang berserakan. Nah, ini dia poinnya.
Tetap masih ada yang membuang sampah sembarangan. Coba pikir saja. Andaikan
petugas kebersihan itu tidak ada, apa iya Taman Bungkul akan sebersih itu?
Ini sama dengan kasus “taman
amaryllis” di Gunung Kidul beberapa waktu lalu. Ada beberapa pengunjung yang
beralasan: “Aku, kan, sudah bayar. Jika ada tanaman yang rusak karena aku
injak, itu sudah tanggung jawab pemilik taman.” Gubrak banget, ya. Atau,
beberapa kasus para “pendaki gunung” dadakan yang katanya suka pemandangan
alam, tapi malah merusak alam dengan tebaran sampah makanan dan kertas. Ada
saja yang beralasan: “Wong kami bayar petugas kebersihan, kok. Ada petugasnya
yang bersih-bersih.” Lah, ini lebih bikin gubrak lagi! Percuma bilang cinta
alam, cinta lingkungan, pamer “aku cinta kamu” lewat kertas yang berserakan di
alam, kalau sekadar omdo alias omong doang. Mereka sekadar berekreasi mata,
bukan rekreasi jiwa.
Masalah banjir di Jakarta, misalnya,
okelah mungkin ada sebab dari kelambatan dari pemerintah dalam mengantisipasi
banjir. Saluran air yang kurang optimal mungkin. Mungkin juga karena beberapa
bangunan yang tidak memperhatikan saluran air. Tapi, pemerintah bukanlah salah
satu sebab saja. Jika semua pihak tidak saling bekerja sama dalam mengatasi
banjir, selamanya masalah banjir akan menjadi masalah yang tidak ada titik temu.
Selain masalah tata kota, sebab utama
banjir adalah sampah. Bayangkan saja, volume sampah di Jakarta setiap harinya
6.500-7.000 ton. Ini angka yang fantantis dibandingkan kota-kota besar lainnya
di dunia. Kata Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Isnawa Adji, volume sampah
di kota besar di Eropa hanya 1.000-2.000 ton setiap harinya.
Permasalahan sampah tidak akan selesai
hanya dengan mengkritik pemerintah, menyediakan tempat pembuangan sampah, atau
menghujat si pembuang sampah. Fasilitas ada, tapi manusianya miskin kesadaran
membuang sampah pada tempatnya, ya percuma. Ayolah, kita mulai dari diri sendiri,
Kawan! Beri contoh ke keluarga dan orang-orang terdekat. Mulailah memilah
sampah mana yang bisa dijadikan pupuk dan mana yang bisa didaur ulang.
Saya jadi teringat beberapa waktu lalu
pernah ikut acara blogger. Pembicaranya adalah seorang penggiat bank sampah,
Mbak Yeni dari Bank Sampah My Darling. Dia berbagi kisah bagaimana mengolah
sampah menjadi barang yang bermanfaat. Tidak hanya itu, dia juga menularkan
semangat ke semua orang sehingga banyak yang tertarik ikut berkarya dengan
sampah, bahkan banyak yang mendirikan bank sampah di lingkungan masing-masing.
Virus memanfaatkan sampah menjadi barang berguna memang perlu ditularkan agar
menjadi tren yang positif. Pemerintah dan masyarakat harus bahu-membahu
meyukseskan regulasi sampah.
Kemarin tanggal 21 Februari bertepatan
dengan Hari Peduli Sampah Nasional. Banyak penggiat lingkungan hidup yang
menjadikan momen 21 Februari untuk mengampanyekan peduli lingkungan dan peduli
sampah. Bank Sampah My Darling dan beberapa komunitas peduli lingkungan mengadakan
kegiatan yang positif di kawasan Car free Day Sudirman. Detail acara bisa
dilihat di sini.
Oh, jalak Bali! Love you! |
Banyak hal yang bisa kita lakukan
dalam menjaga lingkungan. Peraturan pemerintah tentang harga kantong kresek 200
rupiah itu memang bagus. Tapi, itu bukanlah satu-satunya solusi. Peraturan
pemerintah itu akan berjalan optimal apabila masing-masing individu punya
kesadaran sendiri akan pentingnya menjaga lingkungan dan mengelola sampah. Okelah,
mungkin bagi sebagian masyarakat kecil harga 200 rupiah itu sangat bernilai.
Namun, kita juga harus melek mata bahwa harga 200 rupiah itu bagi banyak orang
hanya recehan tak bernilai. Peraturan itu dianggap basa-basi dan hal yang
remeh. Semenjak diberlakukannya peraturan itu Februari kemarin, saya
mengkhususkan diri menelusuri beberapa minimarket.
Dari sepuluh minimarket di Jogja yang
saya kunjungi, 2 di antaranya mengabaikan aturan pemerintah itu. Sebagian
pengunjung yang cuma beli sebotol soft drink rela membayar 200 rupiah,
padahal minuman itu bisa dipegang tanpa kantong kresek. Di luar minimarket,
bertebaran sampah kresek, sampah botol, dan sebagainya. Karyawan minimarket pun
tanpa bosan membersihkannya. Heran, ya, sudah disediakan fasilitas tempat
nongkrong, malah dengan seenak udelnya meninggalkan sampah.
Kebiasaan saya dari dulu ke mana-mana
pakai ransel. Kalau ransel saya masih muat memasukkan belanjaan, saya tidak
perlu kresek. Beda halnya kalau ransel sudah penuh dan belanjaan yang saya bawa
cukup banyak. Mirisnya lagi, masih banyak pembeli yang sembarangan membuang
kantong kresek itu. Ini yang saya bilang, peraturan dan kesadaran masing-masing
haruslah seimbang. Semoga setelah masa uji coba, peraturan ini dievaluasi
secara menyeluruh. Masyarakat pun semakin sadar bahwa inti peraturan itu bukan
200 rupiahnya, melainkan kesadaran menjaga lingkungan dan mengelola sampah. Ingat, bukan mengelola mantan. Jiaaah!
Ahiks! (sumber: http://pherrie.blogspot.co.id/2014/07/buanglah-mantan-pada-tempatnya.html) |
Jogja,
030316
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSuka bagian buanglah mantan pada tempatnya wkwkwk #eh
BalasHapusIyaaaa, soal 200 msh ada bbrp yg berpikir "ah cuma 200 ini, gak berat", mungkin perlu evaluasi lg naikin harganya. Atau pemerintah menggalakkan lagi pemisahan sampah basah kering kyk jaman dulu (yg gak ada kelanjutannya -_-")
keluargahamsa(dot)com
Wong tilang 500 ribu aja msih bnyak yg mengentengkan ya, Mbak. :(
Hapusini bukan berarti mantan sama dengan sampah yang harus dibuang, kan? hihihihihihi
BalasHapusHarus dibuang. Kalo bisa dimanfaatin. wkwkwk
HapusKesadaran itu yg kurang bgt di kita ya mak. Yg sebel itu kalo pas car free day bubar acara sampah dimana2. Polusi udara ilang bbrp jam ganti sampah dimana2 :(
BalasHapusHabit sbagian masyarakat Indonesia masih bnyak sperti itu, Mak Muna. :3 Tempat sudah sepi orang, tapi penuh sampah.
Hapus