Bulan Juli 2016 nanti, usiaku tepat
tiga puluh tahun. Apa tidak terasa? Terasa sekali, dong. Masa tua tidak terasa?
Tapi, Mamak tidak pernah menganggapku tua, lho. Setahun lalu saja Mamak bilang
umurku 23 tahun. Serius! So, dengan dukungan Mamak, jangan kaget bila aku
selalu merasa manis dan tak jauh beda dengan mahasiswa-mahasiswi yang kutemui
saat Gathering Netizens dengan MPR RI beberapa waktu lalu. Uhuk!
Sarapan bersama para mahasiswa UTY. Aku yang mana? #banggajelang30. :p |
Jelang usia 30 tahun, membuatku
berpikir apakah sudah menjadi manusia yang yanfa’ulinnas? Sudahkah
menjadi manusia yang bermanfaat pada sesama? Sudahkah menjadi manusia yang
tidak hanya sibuk menghitung materi, melainkan sibuk berbagi? Sudahkah menjadi
salah satu rakyat Indonesia yang benar-benar cinta tanah air? Apa yang sudah
aku lakukan untuk bangsa dan negara? Apa pembuktian yang kulakukan demi mengisi
kemerdekaan?
Aku tulis, aku kalkulasi, aku hitung
sedetail mungkin. Ah, selama ini aku termasuk kategori manusia yang sibuk
sendiri, berdiam diri di ruang pengap bernama egois. Banyak kota yang sudah
kukunjungi, tapi adakah yang kudapat selain penat dan foto-foto narsis? Banyak
warna kehidupan dan berbagai tipe manusia yang kutemui, sudahkah aku mendapat
hikmah dan memperbanyak kebijaksanaan dalam hidup?
Pak Zulkifli Hasan (Ketua MPR RI) dan Sekjen di acara Gathering Netizens, hari pertama, 18 Maret 2016, Hotel Eastparc Yogyakarta |
Tinggal di negara yang pluralisme
seperti Indonesia membuatku terus belajar makna perbedaan. Tak hanya perbedaan
suku, agama, budaya, bahasa, adat istiadat, tapi juga perbedaan ekonomi,
sosial, pendidikan, dan pola pikir. Semua sisi kehidupan masyarakat Indonesia
sangat majemuk. Maka, sampai sekarang, jika ada yang menyulut masyarakat
Indonesia dengan alasan hal-hal tersebut, gampang sekali, bukan? Tinggal
“nyalakan kompor” di beberapa titik (di medsos ataupun di daerah yang rawan
konflik), maka berkobarlah konflik tiada ujungnya. Ya, kita tidak bisa menampik
masih banyak masyarakat yang gampang dikompori hal-hal tersebut.
Lalu, sebagai seorang gadis manis
menjelang usia tiga puluh, apa yang sudah kulakukan agar senantiasa menjaga
kedamaian di tengah masyarakat yang plural? Apa, Edib, apa? #mulailebay Oke,
aku hafal lagu nasional, dari Indonesia Raya hingga Gugur Bunga. Aku hafal lagu
daerah, dari Ampar-ampar Pisang sampai Sajojo. Aku hafal mantan, dari ujung Jawa
sampai Sumatera. #mulaingawur. Skip! #abaikan
Foto bersama Pak Zulkifli Hasan |
Mengenal bangsa Indonesia tak cukup
sekilas pandang. Pernah memelototin foto kekasih? Hayooo ngaku, pasti
dipelototin dari ujung pigura atas sampai pigura bawah. Kalau ada debu,
dibersihin sama tisu basah. Zaman sekarang, kan, gampang tinggal pelototin
layar Hp. Mau disotosop, eh diedit di photoshop biar tambah ganteng/cantik juga
gampang banget. Aih! Begitu juga dengan Indonesia. Tak bisa kita hanya melihat
Indonesia lewat satu kacamata dan satu sudut saja. Melihat Indonesia tak cukup
melihat orang Jawa saja atau tak cukup melihat orang Kalimantan saja. Melihat
Indonesia tak cukup hanya dengan melihat agama mayoritas atau suku mayoritas.
Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas di Indonesia.
Dalam acara Gathering Netizens dengan
MPR RI kemarin, aku seperti diingatkan kembali tentang nasionalisme. Aku
seperti direfresh kembali tentang semangat mengisi kemerdekaan. Aku merasa
ditampar, lalu bergumulanlah pertanyaan-pertanyaan seperti yang kutulis di
atas. Pertanyaannya sekarang, apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu?
Kita lihat, semakin maraknya media sosial,
semakin marak pula perperangan opini yang berakhir dengan perperangan caci
maki. Semua orang merasa bebas memaki berlandaskan “kebebasan”. Sebagai seorang
netizens yang tentunya berkecimpung di dunia media sosial, aku merasa
terpanggil untuk bergerak dan beraksi.
Seorang netizens itu memang penggiat
media sosial, tapi netizens juga bisa menjadi perpanjangan tangan pemerintah,
negara secara umumnya, dalam menyampaikan pesan-pesan nasionalisme. Ada yang
tidak hafal Pancasila? Aku yakin pasti semua hafal sejak usia TK. Apa makna
Pancasila? Sudahkah kita mengamalkan isi Pancasila di setiap sendi kehidupan?
MPR RI yang dulu merupakan lembaga
tertinggi negara (duh, aku baru tahu MPR bukan lagi lembaga tertinggi) mulai “bergerilya”
menyebarkan virus nasionalisme lewat sosialisasi 4 pilar kebangsaan, yaitu
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Empat pilar itu memang harus disosialisasikan ke segenap
penjuru, ke suluruh rakyat Indonesia.
Bersama pemateri hari kedua: Pak TB Soemandjaja, 19 Maret 2016, di Hotel Eastparc Yogyakarta |
Apa tujuan sosialisasi yang gencar
dilakukan MPR RI? Semua itu tidak lain karena melihat fenomena yang terjadi
saat ini. Sekiranya nilai dalam empat pilar itu menjadi pegangan dalam hidup
berbangsa dan bernegara, tentu konflik-konflik dapat berkurang. Sekiranya nilai
empat pilar itu terpatri dalam setiap jiwa raga setiap rakyat Indonesia, tentu
tidak ada lagi manusia yang enggan berbagi kepada sesama.
Kemajemukan bangsa Indonesia bukanlah
hal yang riskan apalagi hal yang harus dipaksakan sama. “Perbedaan itu indah”.
Jika dipaksakan harus sama, betapa anehnya dunia. Bayangkan, kita tidak bisa
membedakan mantan 1 dan mantan lainnya. #alamak! Mantan lagi.
Jadi, jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan di atas apa, Dib? Dari tadi muter-muter saja. Jawabannya,
tidak ada yang tidak bisa dilakukan di dunia ini. Oke? Setuju? Nah, tidak usah
muluk-muluk melakukan hal yang dirasa sulit. Mulailah dari hal yang dekat
dengan pribadi kita. Karena aku seorang netizens alias penggiat media sosial
alias sebutlah aku blogger (cieee, sudah jadi blogger nih ye!), maka aku harus
menyebarkan rasa nasionalisme lewat tulisan! Itu wajib hukumnya! Siapa bilang
menjadi netizens tidak bermanfaat kepada sesama? Perkembangan teknologi
informasi semakin maju, maka penyebaran informasi lewat media sosial dan blog
adalah salah satu cara yang efektif.
Namun, sosialisasi ini juga diharapkan
menyebar ke pelosok yang “miskin” jangkauan internet. Masih banyak rakyat
Indonesia yang gagap teknologi dan tidak aktif di media sosial, ini objek
sosialisasi yang tidak bisa dilupakan. Tidak kalah penting, generasi bangsa alias
anak-anak sekolah juga harus dijejali semangar nasionalisme. Tidak ada kata
terlambat untuk memulai.
Oke, sekarang tidak perlu lagi aku
galau dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Lakukan yang bisa dilakukan
sekarang. Yuk berbuat untuk negeri!
Salam cinta tanah air!
Jogja,
010416
Duh, jadi ikut bertanya pada diri sendiri, apa yg sudah kusumbangkan utk bangsa sbg wujud nasionalisme ya
BalasHapussalam cinta tanah air mbak, semangat!
BalasHapus