Desa
wisata dan desa budaya adalah dua jenis desa yang berbeda. Jika desa wisata
lebih mengedepankan pesona tempat wisata, desa budaya adalah desa yang
mengedepankan pesona budayanya. Untuk kali pertama tanggal 1 Oktober 2016
kemarin aku mengunjungi salah satu desa budaya di Kecamatan Minggir, Kabupaten
Sleman, Yogyakarta, tepatnya Desa Sendangagung.
Dalam
perjalanan menuju Desa Sendangagung bersama tiga teman blogger, Rian, Bundcha,
dan Tari, kami sekilas bicara tentang Sendangagung. Sebelum aku berangkat, aku
lebih dulu searching tentang Sendangagung. Rupanya ada beberapa desa yang juga
menggunakan kata Sendang, seperti Desa Sendangmulyo, Sendangarum, Sendangrejo,
dan Sendangsari.
Para blogger "blusukan" ke Sendangagung. :D |
"Sendang
itu apa sih artinya?" tanyaku kepada Rian, yang bapaknya asli
Sendangagung, tapi sudah lama tidak tinggal di Sendangagung. "Sendang itu artinya wadah atau kolam," jawab Rian. Nah,
iseng aku cek di KBBI, ternyata ada lho kata “sendang”. Huwaaa, editor payah
aku ini!
Jam
setengah sebelas siang kami sampai di Desa Sendangagung. Kami melewati Lapangan
Kebonagung, yang menjadi tempat Gelar Budaya Sendangagung dari jam
12 siang sampai nanti malam. Sehabis shalat Zuhur di rumah warga tempat kami menginap,
segera kami meluncur ke Lapangan Kebonagung.
Panggung
Gelar Budaya Desa Sendangagung sudah siap. Para pemain musik tradisional Jawa
dengan pakaian Jawa juga telah siap tampil. Alunan gamelan mulai terdengar
menyemarakkan suasana. Di samping panggung, tampak beberapa orang berkostum
panggung mempersiapkan pertunjukan dari berbagai dusun.
Di
area Lapangan Kebonagung terdapat stand-stand yang memamerkan hasil karya warga
desa. Ada berbagai kerajinan yang terbuat dari janggel (bonggol) jagung, bambu,
kain shibori, telur asin, ikan wader, wingko, cap jaek, keripik talas, moci, dan
beberapa makanan lainnya.
Antusiasme
warga Sendangagung patut diacungi jempol. Meski gerimis mulai menyapa, mereka
tetap berdiri memadati depan panggung. Ada yang duduk, berdiri tanpa payung
atau dengan payung. Pertunjukan diawali dengan wayang, lalu dilanjutkan dengan
pertunjukan-pertunjukan dari beberapa dusun. Meski aku tidak terlalu paham
dengan bahasa Jawa, acara seperti ini selalu bisa kunikmati. Misalnya, saat
pertunjukan Bandung Bondowoso yang pemainnya semua anak-anak. Mereka
benar-benar menghayati peran yang mereka mainkan, jadi aku sebagai penonton pun
jadi sangat menikmati. Tak hanya ditunjang oleh kostum yang memukau, tapi juga
kepiwaian mereka dalam memerankan tokoh perlu diapresiasi.
Para pemain Bandung Bondowoso |
Adat-istiadat
dan budaya adalah nilai kekayaan bangsa Indonesia. Hal yang membedakan
Indonesia dengan negara-negara lain di dunia adalah keragaman budayanya. Desa
Sendangagung berpotensi sebagai desa budaya yang wajib dijadikan destinasi oleh
para pelancong dari dalam negeri maupun luar negeri. Keragaman budaya pun
dipertontonkan oleh masyarakat Desa Sendangagung, baik itu anak-anak, remaja,
maupun orang dewasa.
Acara
Gelar Budaya Sendangagung siang itu berjalan lancar. Pertunjukan demi
pertunjukan ditampilkan oleh berbagai kalangan. Ada jathilan, macapat, shalawatan,
ketoprak bocah, dolanan bocah, badui, jeber jues, nyadran, wiwitan, nyadran,
wayang kulit, dan kunthulan.
Pertunjukan Jathilan. |
Di
tengah acara, gerimis berganti hujan deras. Apakah penonton berkurang? Oh,
tidak! Penonton semakin banyak dengan payung di tangan masing-masing. Anak-anak
mengerumuti depan panggung karena ingin melihat pertunjukan lebih dekat, tak
peduli air hujan membasahi kepala mereka. Panitia mau tidak mau berulang kali
menegur anak-anak agar tidak menghalangi penonton di belakang. Aih, senangnya melihat
antusiasme anak-anak itu. Satu hal yang membuatku kagum dengan Gelar Budaya
Desa Sendangagung ini. Meski sudah banyak warga asli Sendangagung yang merantau
ke luar kota bahkan luar pulau, setiap ada perayaan seperti gelar budaya ini
mereka akan hadir dan turut menyemarakkan acara.
Hujan tak menyurutkan semangat para penonton. |
Satu
saran saja sih buat panitia Gelar Budaya Desa Sendangagung kemarin: Sediakan
tempat sampah. Ahiks, aku sampai bingung mau buang sampah di mana. Sampah-sampah
“menghiasi” Lapangan Kebonagung. Entah mungkin karena kebiasaan buang sampah
sembarangan atau tidak ada fasilitas tempat sampah. Kan panggung dan lapangan kelihatan
lebih asri kalau minim sampah.
Salam
budaya.
Jogja, 051016
Wah budayanya masih kental banget ya mbk. Seru banget itu pertunjukannya, pemeran bandung bondowoso kok imut2 hehe
BalasHapusIya, itu anak2 semua, Bowo. 😆
HapusSempat roaming dg nama desa, kak. Hihi
BalasHapusSempat roaming dengan nama sendang, kak?
BalasHapusSempat roaming dengan nama sendang, kak?
BalasHapusRoaming boso Jawa, Elzha... 😁
HapusMasak editor keren gini ndak tahu sih. Hihi.
BalasHapusGak prnah denger di keseharian, Koh. Kerennya luntur. 😂
Hapuswadernya itu lho gak nahan enaknya
BalasHapusWadernya uenaaak, apalagi telurnya. 😆
HapusWadernya uenaaak, apalagi telurnya. 😆
Hapus