Sekarang
tampilan Malioboro mulai berubah. Parkir kendaraan sudah ditata demi kenyamanan
wisatawan. Sepanjang jalan dilengkapi bangku-bangku panjang berbahan kayu.
Sayang, entah kenapa aku melihatnya tampak gersang. Mungkin karena sepi
pepohonan. Entah sudah berapa kali aku menikmati keramaian di Malioboro,
Yogyakarta. Menyusuri jalanan Malioboro dari persimpangan Malioboro dan Stasiun
Tugu hingga ke Titik Nol, bahkan ke Alun-alun Kidul. Apa yang aku lakukan
sendirian? Tidak lain hanyalah menyelami keramaian yang ada. Jika para
wisatawan berjalan kaki di Malioboro sembari bertransaksi beli ini itu, aku
malah menyaksikan aktivitas para wisatawan itu.
Beberapa waktu lalu. Tempat berteduh di sepanjang Malioboro. |
Sesekali
aku menghentikan langkah, sekadar melihat barang-barang yang dijual. Jika aku
niat untuk membeli barang yang aku perlukan, tentu aku membelinya.
Memperhatikan tingkah para pembeli seperti memperhatikan tingkah kupu-kupu yang
terbang di antara bunga-bunga. Ada yang malu-malu mengisap sari bunga, ada yang
tanpa henti tawar-menawar karena si bunga berlagak jual mahal, ada juga bunga
yang menjual murah demi perkembangbiakan yang ditunggu-tunggu. Aih, macam apa
perbandingan pedagang dengan bunga? -_-
Kadang
aku ternganga menyaksikan pembeli yang ngotot menawar dengan harga tak masuk
akal, sedangkan pedagang juga tak kalah keras kepala mempertahankan kenormalan
harga. Di sinilah aku melihat pertandingan luar biasa melebihi pertandingan Bruce
Lee dan Wong Jack Man. Ada pula pembeli yang sudah merasa harga barang itu
murah banget, padahal pedagang menaruh harga dua kali lipat dari harga normal.
Oow!
Penjual sate ayam |
Kalau
aku haus dan lupa bawa air mineral, aku mampir di warung untuk beli minuman.
Dan, sampai sekarang, aku tidak warung mana yang menjual minuman semacam jus
dan es buah yang enak. Pernah sekali mampir ke warung jus buah yang kalau
dilihat sepintas lumayan bagus. Buah-buah yang dipajang segar dengan tempat duduk
yang bagus. Harganya lumayan mahal. Lima belas ribu rupiah. Pas aku beli,
alamak! Rasa buahnya minim sekali. -_-
Sekali
juga pernah singgah di warung es kelapa dan es buah. Duhaaai, mending bikin
sendiri lah. Buahnya seuprit dan asal bikin saja kayaknya si ibu. Oh, iya,
pernah juga aku lapar dan mampir di gudeg dan pecel bakul di depan Pasar Bering
Harjo. Awalnya aku pikir makan di situ murah dan standar, lah. Oalah, ternyata
harganya lumayan mahal. Nggak lagi deh mampir di situ.
Sudah
banyak yang tahu, banyak harga makanan di kawasan Malioboro memang rada-rada
egois, apalagi lesehan di malam hari. Banyak yang protes sih mengenai harga
makanan, tapi mau gimana lagi? Bisnis adalah bisnis. Sekali pernah aku makan
enak dan lumayan murah itu di samping Ramayana. Ada menu ikan patin yang enak
banget. Satu lagi yang aku suka itu lumpia. Enak rasanya meskipun terus naik
harga. Angkringan di depan Stasiun Tugu juga begitu. Harganya makin naik dan
sesuka hati penjualnya naruh harga.
Lumpia kesukaan |
Kalau
jalan di Malioboro malam hari kamu bakal melihat banyak penjual wedang ronde.
Sayang, aku belum menemukan wedang ronde yang benar nagih dan jahenya berasa
banget. Infokan ya kalau tahu wedang ronde yang enak, teman-teman. Maklum, aku
penikmat wedang ronde sejak zaman SD. :D
Satu
hal yang aku sukai di Malioboro adalah pengamen. Kalau ada pengamen yang
suaranya lumayan bagus dan musik yang lumayan bagus pula, aku bisa nagih nambah
lagu. Tentunya dengan imbalan, dong. Jogja memang gudangnya pengamen. Dari pagi
sampai kembali pagi. Nonstop!
Nggak afdol kalau nggak lesehan di trotoar macam ini. |
Nah,
aku pernah ngobrol sama seorang driver Gojek yang ternyata pemusik jalanan.
Setelah jadi driver, dia berhenti jadi pemusik jalanan. Dia bergabung dalam
satu tim musik di kampungnya. Mereka sering latihan dan “manggung” dari jalanan
ke jalanan, dari warung ke warung. Tim musik ternyata sangat banyak di Jogja.
Mereka punya paguyuban atau komunitas sendiri untuk mengatur lahan supaya adil
dalam mencari nafkah.
Tak
hanya memperhatikan tingkah polah wisatawan, di Malioboro juga bisa menyaksikan
tingkah polah nonwisatawan. Pengamen, pengemis, pedagang, penjual minuman
keliling, penjual sate yang merantau dari Madura, tukang andong, tukang becak
dengan senjata andalannya “5.000 saja”, dan sebagainya. Malioboro masih nyaman
kok untuk dikunjungi. Buktinya aku tak pernah bosan menyusuri jalan Malioboro.
Hanya saja, segala sesuatu memang perlu pembenahan dari waktu ke waktu.
Titik Nol Malioboro |
Mengalunlah
sebuah lagu KLA Project, “Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna. Terhanyut aku akan nostalgia. Saat kita
sering luangkan waktu. Nikmati bersama. Suasana Jogja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar