Tulisan
ini terinspirasi dengan twit-twit dengan hestek #CumadiJogja. Tidak ada yang
salah kalau ada yang bilang Jogja itu diciptakan dari bahan kenangan dan
angkringan. Kalau boleh menambahkan, Jogja itu juga diciptakan dengan tambahan
pengamen dan becak 5 ribuan. :v Selama satu tahun sebelas bulan di Yogyakarta,
banyak hal dan pengalaman unik yang aku temui.
Pengalaman-pengalaman
itu kadang menggelikan dan bikin senyum-senyum sendiri. Yang jelas, dari semua
pengalaman itu, aku sedikit mengerti tipikal masyarakat Jogja dengan segala
pesonanya. Kata peribahasa, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
Maka, mengenal budaya dan seluk-beluk Jogja adalah hal yang penting banget bagi
perantau sepertiku.
Pentingnya kata “permisi”, “kulo
nuwun”, atau “klamit”
Masyarakat
Jawa, khususnya Yogyakarta, sangat menjunjung tinggi adab dan kesopanan. Hal
yang paling sederhana adalah ketika kita berjalan dan melewati orang lain di
pinggir jalan, harus mengucapkan kata permisi (bahasa Jawanya kulo nuwun atau klamit). Sebenarnya di setiap daerah pasti diajarkan tata krama
ini. Namun, terkadang hal ini dilupakan, terutama di daerah yang tata krama ini
mulai luntur.
Di
kampung halamanku sendiri, Banjarmasin, frasa yang digunakan adalah “umpat
lalu” atau numpang lewat. Namun, seiring berjalannya waktu, kebiasaan
mengucapkan “umpat lalu” mulai tidak dipedulikan oleh anak-anak. Mungkin hal
ini karena tidak dibiasakan saja, ya. Selama aku tinggal di Probolinggo yang
dominan menggunakan bahasa Madura, juga menggunakan kata “amit” (permisi)
ketika melewati seseorang di jalan.
Kebingungan menanyakan alamat
Aku
paling buta masalah arah mata angin. Dulu, sewaktu tinggal di Probolinggo, juga
menggunakan arah mata angin. Begitu pun di Jogja. Namun, tetap saja aku tidak
pahaaam! :D Jadi, kiri dan kananlah senjataku kalau ada yang menanyakan alamat
atau aku yang bertanya alamat.
Nah,
yang jadi masalah, ketika kita bertanya arah tujuan dengan petunjuk kanan dan
kiri, itu membingungkan, saudara! Yang ditanya menjawab “kanan”, padahal maksudnya
“kiri”. Pokoknya terbolak-balik.
Naik becak cuma 5 ribu rupiah (asal
beli bakpia atau kaos Jogja)
Pernah
ke Malioboro dan ditawari tukang becak “Lima ribu aja, Mbak”? Memang benar
tarifnya 5 ribu, asalkan kita mau dibawa ke toko oleh-oleh yang menjual bakpia
dan kaos Jogja. Pemilik toko bekerja sama dengan tukang becak, jadi tukang
becak dapat komisi kalau bisa membawa pembeli ke tokonya. Sebaliknya, jika kita
tidak mampir ke toko itu alias tidak beli apa pun, siap-siap ditagih tambahan
tarif.
Dua ribu rupiah bisa tuntaskan
lapar (untuk sementara).
Kantong
kempes, tapi perut perlu diisi? Jangan khawatir, nasi kucing adalah solusi
kalau kamu tinggal di Jogja. Aku pernah mengalaminya. Uang sisa recehan, sedang
perut kelaparan. Alhasil, sebungkus nasi kucing pun lumayan bisa memenuhi
perut.
Beli segelas kopi dua ribu rupiah,
tapi duduk berjam-jam sambil nunggu pagi.
Cuma
di Jogja, dengan modal dua ribu rupiah bisa numpang duduk (kadang tidur sambil
duduk) di angkringan. Kadang karena nunggu jadwal kereta atau nunggu pulang kos
karena kemalaman.
Cuma di Jogja, naik bus dari
Giwangan ke Jalan Wonosari, ngasih lima ribu, eh dapat kembalian dua ribu.
Kondekturnya
baik banget. Tahu banget lagi akhir bulan. Eh, pas naik bus tepat awal bulan
malah tidak dikasih kembalian. :D Tergantung kondekturnya sih.
Dari pengamen kelas pok ame-ame
sampai pengamen selevel vokalis Metallica, Iwan Fals, dan Ebiet G Ade, ada!
Satu
hal yang paling kusuka di Jogja adalah pengamen. Sejam saja nongkrong di
Malioboro, kamu bakal melihat aksi berbagai macam pengamen. Pokoknya menghibur
banget. AKu suka banget nongkrong di Malioboro sekadar menikmati musik dari
pengamen jalanan keren itu.Kalau suaranya bagus banget, aku pasti reques lagu.
Cuma di Jogja, bandara ada di
tengah kota.
Bandara
di Kalsel itu di pinggiran kota sebelum masuk kota Banjarbaru. Bandara Juanda
di pinggiran juga. Bandara Denpasar, Jakarta, Bandung, dan lain-lain juga di
pinggiran. Jogja lain sendiri. Bandaranya di tengah kota! Lumayan menguntungkan
sih bagiku. Dekat kos. Kalau habis liburan/cuti, bisa berangkat habis Subuh
dari Banjarmasin, nyampe Jogja pagi langsung ke kantor. Makanya, rada susah
juga nih kalau bandara dipindah ke Kulonprogo. -_- Tapiii, kalau tidak dibangun
bandara baru, penerbangan di Jogja bakal tidak efektif seperti biasanya: sering
delay.
Naik Trans Jogja 3.500 rupiah bisa
keliling Jogja!
Sering
teman bertanya, “Dari sini ke sana jauh nggak sih?” Aku cuma bisa menjawab,
“Jogja itu kota kecil. Ke mana-mana mah dekat.” :D Naik Trans Jogja saja bisa
keliling Jogja selama sejam. :D
Malam hari trotoar berubah jadi
tempat wisata kuliner
Siang
hari kamu jalan-jalan di Jogja gampang melewati trotoar. Nah, kalau malam hari,
trotoar akan dipenuhi penjual makanan. Jogja kayaknya diciptakan dari PKL juga,
ya. Pedagang Kaki Lima.
Kalau sudah terhalang lampu merah,
siap-siap terhalang di lampu merah selanjutnya. Lampu merah di Jogja lama
benar.
Hahaha,
ini doa yang sering aku ucapkan dalam hati ketika naik ojek: “Ya Allah, jangan
sampai ketemu lampu merah di Wiyoro.” Kalau sampai diadang lampu merah Wiyoro,
bakal ketemu lampu merah berikutnya. Kelar! :D
Cuma di Jogja, museum ada di
mana-mana
Jogja
itu dikenal sebagai kota museum. Jumlah museum di Jogja paling banyak di
Indonesia. Museum itu tidak hanya dikelola oleh pemerintah, tapi juga banyak
yang dikelola oleh swasta/masyarakat. Museumnya pun macam-macam dan beraneka
ragam.
Borobudur katanya wisata Jogja,
padahal tempatnya di Magelang
Ingat,
ya. Borobudur itu letaknya di Magelang, kabupaten tetangga Jogja. Beda
provinsi, lho. Dari Yogyakarta ke Borobudur bisa menempuh jarak selama satu
jam.
Festival budaya ada di segala
penjuru. Desa wisata ada di mana-mana.
Kapan
pun, di mana pun, selalu ada pertunjukan budaya. Aku sendiri sering mantau
Twitter @JogjaUpdate atau @infoseni untuk mengetahui event apa saja hari ini
atau hari berikutnya. Tinggal di Jogja, nggak pernah hadir di acara budaya?
Aih, ke laut aja….
Sejak tinggal di Jogja, aku baru benar-benar
mengenal yang namanya hidup bertoleransi.
Inilah
indahnya Jogja. Berbagai suku dari Sabang sampai Merauke berbaur di Jogja, tapi
budaya Jogja tetap hidup dan lestari. Masyarakat pendatang pung tetap teguh
dengan budayanya. Semua masyarakat hidup damai dan mesra tanpa memandang
perbedaan suku dan agama. I love Jogja!
Tentunya masih banyak lagi ciri khas Jogja. Nggak
bakalan kelar ditulis dalam satu postingan, deh. Ada yang mau menambahkan?
Salam
Pojok Jalan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar