“Konsumen
yang bijak adalah konsumen yang mengetahui secara detail apa yang
dikonsumsinya.”
Cukup
sering aku mendengar perkataan seseorang, “Ngapain sih ribet milih, lihat ini,
lihat itu. Pilih aja langsung. Kan lebih gampang.” Apalagi, jika berkaitan
dengan jodoh. “Ah, paling kamu pemilih banget nih, jadi belum ketemu jodoh
juga.” No comment deh kalau temanya sudah jodoh, ya. Jodoh di tangan
Tuhan, bukan di tangan komentator. Ikhtiar manusia ya harus memilih yang
terbaik di antara yang baik. Iya, kan? Lho, kok pembukanya malah bahas
jodoh. 😑
Soal
jodoh saja harus benar-benar memilih, apalagi masalah obat yang berhubungan
dengan kesehatan tubuh. Pernah tidak sih kita benar-benar memperhatikan dan
meneliti secara rinci obat yang kita konsumsi? Apakah sudah sesuai dengan apa
yang kita perlukan? Mungkin sebagian besar ada yang sudah memperhatikan perihal
obat, seperti dosis, indikasi, dan sebagainya. Namun, masih banyak konsumen
yang belum memperhatikan hal yang berkaitan dengan obat.
Di
bawah ini beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan obat:
Pertama,
perhatikan kandungan zat, khasiat, riwayat alergi, kondisi hamil/tidak
hamil/menyusui, harga eceran tertinggi (HET), bentuk sediaan, dan kondisi
sedang menggunakan obat.
Obat
ada tiga macam, yaitu obat bebas, obat bebas terbatas, dan obat keras. Obat
keras harus sesuai resep dokter, sedangkan obat bebas adalah obat yang bebas
dibeli tanpa resep dokter. Obat bebas terbatas ini di tengah-tengahnya, yaitu obat
keras yang bebas dibeli tanpa resep dokter, tapi tetap harus memperhatikan
aturan pakainya.
Kalau
kita pergi ke dokter, lalu diberi obat, tentu “lebih aman” karena dijamin oleh
resep dokter. Yang menjadi masalah adalah jika obat bukan resep dokter. Mau tidak
mau, kita harus mencari tahu tentang obat itu. Bahkan, obat dari dokter pun
harus kita ketahui secara detail. Kita harus aktif bertanya kepada dokter
tentang khasiatnya, efek sampingnya, dan sebagainya.
Kedua,
cara mendapatkan obat.
Seperti
dijelaskan di atas, obat keras hanya bisa dibeli di apotek dan sesuai
resep dokter. Jika kita mendapatkan jenis obat keras ini, kita harus
memperhatikan kelengkapan informasi pada etiket, yaitu nama pasien, tanggal dan
aturan pakai, serta tanggal kedaluwarsa.
Untuk
obat bebas dan bebas terbatas yang bisa kita beli di apotek dan toko obat
berizin, konsumen harus memperhatikan kemasan obat tidak rusak, kelengkapan
informasi pada kemasan, tanggal kedaluwarsa, dan nomor registrasi.
Ketiga,
cara menggunakan obat.
Segala
sesuatu pasti ada aturannya. Begitu pula dengan obat. Bacalah aturan pakai
sebelum mengonsumsi obat. Jangan sampai kita menyalahi aturan pakai. Jika aturan
pakainya 3 x 1 hari berarti diminum setiap 8 jam sekali. Jika aturan pakainya 2
x 1, berarti obat diminum setiap 12 jam sekali. Lama penggunaan obat pun harus
diperhatikan benar-benar.
Jika
selama mengonsumsi obat terjadi efek samping yang tidak diduga (tidak sesuai dengan
apa yang disampaikan dokter atau informasi di kemasan obat), segeralah hentikan
pemakaian obat dan memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Bersikaplah
“serba ingin tahu” di depan apoteker dan dokter. Maksudnya, tanyakan secara
lengkap apa pun yang berkaitan dengan obat yang kamu konsumsi. Oh ya, ada satu
lagi yang harus diperhatikan. Meskipun gejala sakitmu dan temanmu tampak sama,
jangan sekali-kali mengonsumsi obat yang sama dengan temanmu. Plis deh, makan
bisa sepiring berdua, jalan-jalan bisa berdua. Tapi, kalau soal obat, tanyakan
dulu ke dokter, ya.
Keempat,
cara menyimpan obat di rumah.
Poin
keempat ini sering diabaikan, lho. Berdasarkan pengalaman nih, aku pernah
menyimpan obat (sirup) batuk di lemari pendingin (kulkas), padahal menurut
aturannya obat itu harus disimpan di suhu ruangan. Aku pikir tidak masalah,
ternyata malah bikin masalah. Setiap obat punya aturan penyimpanan
masing-masing. Cara penyimpanan obat ini
biasanya tercantum di kemasan obat.
Obat
tablet dan kapsul biasanya disimpan di suhu ruangan, tidak panas dan tidak
lembap. Jenis obat yang disimpan di lemari pendingin (bukan freezer),
antara lain ovula (obat untuk vagina) dan suppositoria (obat untuk anus). Obat dalam
bentuk aerosol/spray tidak boleh disimpan di tempat bersuhu tinggi karena bisa
meledak. Obat insulin disimpan di lemari pendingin, lalu ditaruh di suhu
ruangan setelah digunakan.
Oh
ya, jauhkan obat dari jangkauan anak-anak. Obat dan wadah/kemasannya itu satu
paket, jadi jangan pisahkan aku dan dia, eh obat dan kemasannya, ya. Hindari
menyimpan obat di dalam mobil karena suhu di mobil tidak stabil.
Kelima,
cara membuang obat.
Bagaimanakah
cara kamu membuang obat? Apa pernah sepertiku yang membuang obat dengan cara cuma
dilempar ke tong sampah? Caraku jangan ditiru, ya. Membuang obat pun ada
cara khususnya.
- Pisahkan
isi obat dari kemasan.
- Lepaskan
etiket dan tutup dari wadah/botol/tube.
- Buang
kemasan obat.
- Buang
isi obat. Kalau sirup, buang ke saluran pembuangan air. Kalau dalam bentuk
kapsul dan tablet, hancurkan dulu obatnya, lalu buang ke tempat sampah.
- Hancurkan
kemasan obat, lalu buang ke tempat sampah.
- Obat
jenis krim/salep dibuang dengan cara digunting kemasannya, lalu buang ke tempat
sampah.
- Jarum
insulin harus dirusak lebih dulu, tutup terpasang kembali, lalu buang ke tempat
sampah.
Kapan
harus mengonsumsi antibiotik?
Nah,
ada satu bahasan lagi nih, yaitu tentang antibiotik. Ngomong-ngomong tentang
antibiotik, aku sering sekali mendengar temanku berujar, “Lagi batuk nih. Mau
beli antibiotik dulu.” Terus terang, sejak dulu, aku heran kenapa temanku itu
(bahkan teman lainnya) selalu ingin beli antibiotik setiap batuk, flu, dan
sakit lainnya.
Ternyata
antibiotik itu bukanlah obat bebas yang bisa didapatkan dengan mudah, lho.
Antibiotik hanya bisa dikonsumsi sesuai resep dokter. Apakah kamu pernah batuk,
diare, muntah, atau pilek? Ternyata semuanya itu tidak perlu antibiotik. Batuk
dan pilek adalah cara tubuh untuk melindungi paru-paru dari penumpukan lendir. Muntah
dan diare merupakan cara tubuh untuk membuang racun dalam tubuh.
Di
dalam tubuh kita, ada bakteri jahat dan bakteri baik. Jika kita keliru
mengonsumsi antibiotik, bakteri baik akan mati dan bakteri jahat akan semakin
kuat. Artinya, bakteri jahat semakin kebal terhadap antibiotik. Keliru penggunaan
antibiotik bisa menyebabkan resistensi bakteri. Resistensi ini pun akan
mengakibatkan berbagai penyakit, seperti gangguan fungsi ginjal, gangguan hati,
gangguan kehamilan, dan penyakit lainnya.
Misal,
kamu sudah ke dokter dan mendapat antibiotik, apa yang yang harus kamu lakukan
sebagai pasien? Tanyakan ke dokter apakah kamu memang harus mengonsumsi
antibiotik sebab sakit yang kamu alami. Antibiotik diberikan jika kamu sakit
karena infeksi bakteri, bukan virus. Pengetahuan tentang antibiotik ini tidak
hanya diperuntukkan untuk masyarakat umum, tapi juga tenaga kesehatan. Mencabut
gigi, sunat, sehabis melahirkan, dan operasi ringan lainnya tidak memerlukan
antibiotik.
Kamu
juga harus menghabiskan antibiotik yang diberi dokter. Banyak yang keliru dalam
penggunaan antibiotik ini. Jika sudah merasa sembuh, antibioti yang tersisa
tidak dihabiskan. Padahal, antubiotik sesuai resep dokter harus dihabiskan. Ingat
3 T supaya bijak menggunakan antibiotik: Tidak membeli antibiotik sendiri
(harus sesuai resep dokter); Tidak menyimpan antibiotik; Tidak memberi
antibiotik sisa kepada orang lain.
Yuk,
mulai sekarang, selalu cermat menggunakan obat!
Jogja, 261117
Berdasar Temu Blogger Kesehatan
"Cermat Menggunakan Obat", Yogyakarta, 21 November 2017.
Wualah...untuk membuang obat mesti ada tata aturannya ya. Kirain selama ini yg lbh hrs hati2 adalah pembungan jarum suntik saja
BalasHapusThanks infonya mba