Solo, sebuah kota
yang dulu kukira jauh banget. Ternyata cuma tetanggaan dengan Jogja. Naik
kereta pun cuma satu jam dan harga tiket keretanya cuma 8 ribu rupiah. Murah
banget, kan? Kalau naik bus bisa perlu waktu sekitar 1,5-2 jam. Nah, apalagi
sekarang tuh jalan raya Jogja-Solo semakin macet. Aku jadi malas naik bus. Lagi
pula, selama tinggal di Jogja, aku jadi ketagihan naik kereta. Kecuali memang
nggak ada kereta menuju suatu kota, misal Jogja-Semarang. -_-
Kori Kamandungan Lor dan menara Panggung Sangga Buwana |
Solo, sebenarnya sih
nama kota ini Surakarta. Demi apa aku baru tahu perihal nama Surakarta ini tiga
tahun lalu. Tapi, orang-orang lebih familier nama Solo. Sebuah kota di Jawa Tengah
yang nggak kecil-kecil amat. Besar mana Jogja dan Solo? Hmmm..., aku nggak
pernah menghitung. Yang jelas, terhitung sudah empat kali aku mengunjungi Solo.
Bosan? Aih, nggak dong. Mana pernah bosan jika disuguhi suasana kota yang adem
dan tenang meskipun terakhir kali ke sana aku melewati satu kawasan macet. Lupa
nama jalan yang macet itu. Jogja juga begitu, sudah macet di beberapa ruas
jalan raya, apalagi pas libur panjang. Ampuuun!
Sudah beberapa kali
ke Solo, sepertinya aku belum menuliskan tentang kota Didi Kempot ini ya (eh,
sesukanya aja ngasih nama kota Didi Kempot? Ya iyalah, aku hafal kok lagu Stasiun
Balapan-nya itu. Ning Stasiun Balapan. Kuto Solo ning dadi kenangan. Kowe
karo aku.... Skip! Sudah sudah, nulis aja. Nggak usah beralih profesi).
Jalan-jalan ke Solo
nggak mantap rasanya kalau nggak berkunjung ke Keraton Surakarta Hadiningrat. Perbedaan
beli tiket di Keraton Yogyakarta dan Keraton Solo ini, harga tiket di Keraton
Surakarta sudah termasuk kamera. Sebaliknya, kalau di Yogyakarta, ada harga terpisah
bagi yang bawa kamera. Tapi, jangan khawatir, harga tiket masuknya sama-sama
murah. Aku nggak tahu secara spesifik sejarah Keraton Suarakarta Hadiningrat.
Namun, secara fisik bangunan, yang paling tampak beda dengan Keraton
Yogyakarta, Keraton Surakarta ini bernuansa biru dan putih.
Es potong kesukaan. Jadi inget masa kecil. |
Kemarin rencananya
sih pengin ke Pasar Klewer. Tapi, apa daya hujan deras banget dan waktunya juga
mepet. Konon, kalau sudah masuk ke Pasar Klewer, kamu harus menguatkan isi
dompet. Harga barang-barangnya murah-murah sih, jadi kamu bisa kesurupan
belanja. Tahu-tahu keluar pasar sudah nenteng kresek gede aja. -_-
Traveling plus
kulineran itu dua hal yang nggak terpisahkan. Ya iyalah, traveling aja tanpa
makan, kamu pikir kuat? Rindu aja perlu tenaga biar kuat meluapkan, apalagi
jalan-jalan. (apaan bahas rindu segala nih). Selain kamu wajib makan nasi liwet
khas Solo, kamu juga harus mencoba kuliner lainnya.
Aku dan temanku
menunggu jemputan di depan Kori Kamandungan Lor. Sambil menunggu, aku beli es
potong kacang ijo. Tiba-tiba hujan turun deras banget. Mobil jemputan pun
datang. Aku diajak makan bakmi ketoprak yang katanya khas Solo. Yo wis, karena
aku sudah lapar banget, manut aja diajak ke mana. Dalam bayanganku ya, bakmi
ketoprak itu nggak jauh beda dengan ketoprak di Jakarta sono. Ternyata...,
setelah pesanan datang, “Ini bakmi ketoprak? Bukan soto atau sop?” tanyaku heran.
Sekadar info, aku tuh sebenarnya jarang sekali makan yang berkuah kayak sop dan
soto. Karena lapar, ya nikmati sajalah meski cuma habis setengah mangkuk. :D
Malem-malem nongkrong d Gulo Jowo. |
Lupakan soal makan
siang. Sekarang saatnya makan malam. Ada satu tempat makan enak yang recommended
banget nih, kata temanku. Pengin menikmati jajanan pasar dan minuman
tradisional? Datang aja ke Gulo Jowo. Aku aja lupa kapasitas perut pas lihat
menu-menunya dan harganya yang muraaah. Pengin semuanya dimakan. Aku sudah
cobain semar mendem, cabuk rambak, sawut, dan gulo asem. Pengin pesen cenil,
tapi habis. Nggak aku makan semua, kok. Kan makan bareng teman. Owner-nya
pun baik dan ramah banget.
Cuma sekitar 24 jam
di Solo. Besok siangnya aku dan temanku sudah stand by di Stasiun Solo Balapan
menuju Jogja. Jadwal kereta masih lama, 2 jam lagi. Cuaca panas, fasilitas kipas di stasiun yang sepertinya minim
banget, membuatku gerah. Ada satu tempat yang adem—toko donat—tapi sudah terisi
semua kursinya. “Keluyuran aja dulu yuk di luar sambil cari makan,” ajakku. Kami
cari makan di sekitar stasiun. Sebagai penutup kuliner, kami pun makan nasi
liwet. Nggak sempat difoto karena sudah kelaparan.
Tulisan ini diposting
dalam rangka curhat aja sih. Lama nggak nulis curhat perjalanan di blog yang
banyak sarang laba-laba ini. Beneran ini curhat? Oh, bukan, ini mendongeng. -_-
Salam pojok jalan.
Eh, lain kali naik prameks turun purwosari, nyebrang, jln dikit lalu sarapan di Omah Londo. Eeh.. BTW sdh Pernah belum?
BalasHapusBelum pernah, Mbak. Noted. Ntar kalo ke Solo lagi. 😊
Hapus