Melangkahlah segera. Selepas pandang, waktu serupa parang. Menebas yang gamang. Menakuti yang pura-pura." Si kiri blingsatan. Tak sabar ia segera beranjak dari aroma rerumputan dan lengang yang kian telanjang.
"Sabarlah sebentar, duhai pasangan. Meski begitu parang, waktu juga perlu jeda untuk mengasah kekuatan. Yang gamang belum tentu tak punya tujuan. Yang pura-pura belum tentu rapi menyimpan gelana." Si kanan terkesima dengan bayangan jemarinya di bening telaga. Seekor ikan mendekat. Hap! Jempolnya digigit. Si kanan kaget. Ia berkelit. Lupa itu sekadar bayangan.
"Hah! Lihat, cuma bayangan yang digigit. Kukumu mengernyit, tapi kau pura-pura tak sakit. Angin sore mulai sembunyi di balik rerumputan. Menggelitiki telapak kaki dengan gigilnya. Bukan geli, tapi aku hampir gila menunggu kau segera memulai kisah, memulai langkah, memulai irama."
"Bukankah tak harus aku yang mengawali? Kuserahkan misi ini. Silakan ikuti waktu yang tanpa kompromi." Si kanan mengais-ngais rerumputan. Tiada aroma tanah sore ini. Seekor burung singgah di tepi. Ulat-ulat dan serangga mencari tempat sembunyi.
"Tak bisa begitu. Ini tugasmu. Yang kanan lebih dulu. Begitulah aturan baku."
Senja hampir berakhir. Kiri dan kanan masih beradu pikir. Hingga pekat ini malam. Hingga rerumputan gigil kebasahan. Hingga waktu sebenar-benar parang. Menebas yang enggan melanglang.
Jogja, 260720
*Belum telat kukira. Cuma sehari saja. Selamat Hari Puisi Indonesia!
Maknanya dalam.. butuh waktu lama mencerna tulisan ini
BalasHapus